KH. Salahuddin Wahid saat menjadi Keynote Speaker dalam acara Pengajian Umum dan Diskusi Buku “HTI, Gagal Paham Khilafah”. Jumat (27/01/2017). (Sumber foto: harakatuna.com)

tebuireng.online– KAPB (Komunitas Anak Peduli Bangsa) bekerja sama dengan KMNU (Keluarga Mahasiswa NU) mengadakan pengajian umum dan diskusi buku karya santri muda, Makmun Rasyid yang berjudul “HTI, Gagal Paham Khilafah” di Galeri Clumbleuit Hotel Jl. Clumbleuit nomor 42A Bandung, pada Jumat (27/01/17).

Pembahasan mengenai konsep Khilafah milik HTI berlangsung seru, karena penyelenggara mengundang berbagai kalangan yang terkait, baik dari NU, akademisi, peneliti Timur Tengah, bahkan dari pihak HTI.

Pengasuh Pesantren Tebuireng, Dr. Ir. KH.Salahuddin Wahid atau Gus Sholah diundang sebagai keynote speaker. Tiga narasumber lain, yaitu juru bicara DPD I Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jawa Barat Yuana Ryan Tresna, penulis buku “HTI, Gagal Paham Khilafah” Makmun Rasyid, dan akademisi sekaligus peneliti di Indonesia Center For Middle East Studies Dr. Dina Y. Sulaeman. Diskusi ini juga dihadiri oleh 300 hadirin dari berbagai kalangan, baik dari para kader HTI, LDK (Lembaga Dakwah Kampus), KMNU (Keluarga Mahasiswa NU), dan elemen organisasi mahasiswa lainnya.

Menurut KH. Salahuddin Wahid, bahwasanya Hizbut Tahrir Indonesia ini membicarakan tentang kekhilafahan bukan mendirikan khilafah. “Yang kita lakukan ini membicarakan khilafah, dan ini tidak masalah karena tidak melanggar hukum yang berlaku di Indonesia, yang melanggar itu mendirikan khilafah karena itu melanggar hukum, jika kita mendirikan khilafah sekarang, maka kita ditangkap ketika keluar nanti,” ujar alumnus dan mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ITB tersebut.

Makmun Rasyid sebagai penulis buku tersebut menegaskan bahwa tidak ada satu pun nash yang mengindikasikan wajibnya mendirikan sistem khilafah, karena khilafah sebagai sistem itu bukan berarti dalam hal kepemimpinan. “Jika kita membaca Ibnu Kholdun sebagaimana dikutip tadi, yang dimaksud khilafah itu bukan yang itu, bukan sistem yang dimaksud HTI itu, melainkan dalam pengertian kepemimpinan bukan dalam perspektif Hizbut Tahrir Indonesia,” ujar santri. KH. Hasyim Muzadi tersebut.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam kesempatan itu pula, Makmun mempertanyakan kenapa para kader-kader HTI tidak pernah membahas pancasila melainkan melulu tentang demokrasi. Di sisi lain, Makmun berpendapat bahwa hal itu dikarenakan adanya bias politik dalam persoalan pancasila. Namun, lanjut Makmum, konsekuensi penghilangan demokrasi sama saja menghilangkan pancasila juga.

Makmum berpendapat bahwa dalam kitab-kitab klasik yang dirujuk oleh NU (Nahdlatul Ulama’) mejelaskan bagaimana Negara dan agama tidak dihadapkan, karena agama sendiri menjadi penguat negara dan sebaliknya negara melindungi eksistensi orang-orang yang beragama. “Yang menjadi masalah bukan pencasilanya, tetapi umat muslim yang tidak mampu menerapkan dan mengaplikasikan sia-sila itu,” pungkas Makmun.

Sementara itu di kubu yang lain, Yuana selaku perwakilan dari DPD I HTI Jawa Barat, membantah anggapan bahwa penegakan khilafah tidak didukung oleh kitab dan ulama’ muktabar khususnya di Negara Indonesia. “Saya agak bingung jika dikatakan tidak ada ulama’ muktabar yang mendukung berdirinya khilafah,” ujar Yuana.

Di sisi lain ustad Yuana juga setuju perihal Negara dan agama harus berjalan selaras, bahwasanya agama menjadi dasar dan pondasi dalam membangun negara, karena menurut beliau subtansi khilafah itu penerapan syari’ah, ukhwah, dan dakwah. Dan khilafah itu adalah penyempurna penerapan syariah secara kaffah serta penegakan khilafah.

Berbeda dengan ketiga pembicara lainnya, Ibu Dina Sulaiman lebih menyoroti misi panislamisme dan keteribatan HTI di Timur Tengah. Dalam asumsi beliau, beranggapan bahwa HTI telah keluar dari misi persatuan Islam dan kehilangan fokus bahkan terjebak dalam gendering konflik ketika membantu Palestina. Hal itu, tambah Ibu Dina, dikarenakan di Suriah HTI ikut terlibat bekerjasama dengan organisasi teroris Jabhat al Nusro beserta mujahidin lain.

“Artinya tidak mampu memetakan konflik siapa kawan dan lawan, berjuang dengan dasar berita dan isu hoax, ini juga berdampak pada kader HTI yang berada di Indonesia yang menyebarkan takfirisme dan kebencian,” pungkas Ibu Dina.


Pewarta:   MA/Aditia (panitia)

Perepro:    Novia Trinandani
Editor:       Munawara
Publisher:  M. Abror Rosyidin