Ilustrasi Ikhlas: M. Najib B.

Oleh: Yayan Musthofa*

“Agama adalah nasihat” dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Tamim ad Dari. Nasihat kepada Allah, kitab, rasul, pemimpin, dan seluruh umat Islam. Alangkah baiknya jika nasihat (nasihah) di sini tidak diartikan sebagai nasihat, akan tetapi dimaknai menjadi ikhlas. Seperti dalam untaian “Tubu taubatan nasuha,” bertaubatlah dengan taubat yang tulus (ikhlas). Dengan demikian menjadi jelas. Agama adalah ikhlas kepada Allah, kitab, rasul, pemimpin, dan seluruh umat Islam.

Ikhlas mempunyai oposisi yang disebut dengan syirik dalam pandangan Imam al-Ghazali. Seperti halnya syirik yang berjenjang menjadi dua; jaliy (terang) dan khafiy (samar), ikhlas pun demikian. Perumpamaan emas, ada yang murni (batangan 24 karat) dan sudah ada yang dicampur serta diolah menjadi cincin, kalung, gelang, dan sebagainya. Akan tetapi kita masih menyebutnya cincin emas, kalung emas, dan gelang emas.

Dari sini kita bisa menjawab sebuah pertanyaan, “Apakah Bang Didin yang mengerjakan kebaikan dengan mengharapkan pahala, surga, bidadari, dan rentetan lainnya masih dalam katagori ikhlas kepada Allah?” Iya, masih, tapi tidak lagi 24 karat (jaliy) melainkan sudah campuran (khafiy) karena mengharapkan pahala (tsawab) dalam koredor ajaran agama, tidak menyimpang darinya.

Ikhlas jaliy tidak perlu dipertanyakan, pasti berat. As-Susi memberikan standar tinggi, “Ikhlas adalah ketika kita sudah tidak melihat ikhlas dalam diri kita”. Ruwaim –juga demikian- berkata, “Ikhlas dalam mengerjakan sesuatu adalah ketika pelakunya tidak lagi mengharapkan imbalan dunia akhirat”. Dan Fudail menggariskan, “Meninggalkan suatu pekerjaan (‘amal) karena manusia adalah riya’, mengerjakannya karena manusia adalah syirik, sedangkan Ikhlas adalah ketika Allah melindungimu dari keduanya.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Adapun syirik –selaku oposisi ikhlas- adalah tindakan (penyekutuan) yang keluar dari koredor ajaran agama, baik jaliy maupun khafiy. Seperti pengklaiman atas perubahan positif sebuah lembaga pemerintahan, lembaga pendidikan, atau semisalnya kepada diri pelaku adalah salah satu contoh syirik jaliy. Menyetarakan jasa ego diri pelaku dengan kadigdayaan Allah SWT yang sebenarnya menghendaki perubahan positif tersebut terjadi. Sedangkan syirik khafiy mengharapkan bahwa perbuatan positif yang dilakukan akan dilihat oleh banyak orang, sehingga bisa meneguhkan posisi, kebaikan, dan embel-embel nafsu lainnya yang diinginkan pelaku.

Pada bulan Ramadan besok adalah moment penting –atau mulai detik ini-, kita merangkak bersama atau bahkan mengesot. Dari ikhlas kepada Allah yang bercampur pengharapan pahala, surga, bidadari, dan rentetannya menuju ikhlas 24 karat yang murni dan tulus untuk-Nya semata.


*Alumnus Ma’had Aly Hasyim Asy’ari, sekarang atif di Penerbit Tebuireng