fathurrahman-karyadi_nOleh: Atunk Oman

DUA kepala desa belum juga sepakat. Akan dikuburkan di mana jasad kaku Mbah Gundul itu. Pak Warsimin minta agar Mbah Gundul dikuburkan di desanya dengan alasan karena rumah Mbah Gundul di sana. Sedangkan Pak Antoro keukeuh agar mayat lelaki tanpa rambut di kepalanya itu dibenamkan di desanya alasannya karena seminggu sebelum meninggal, Mbah Gundul berpesan demikian. Perdebatan alot terus berkepanjangan. Masing-masing dari kedua kepala desa itu bahkan didukung warganya. Mereka sama-sama ngotot. Dan tidak mau mengalah.

Bendera kuning terpasang di dua desa itu. Diikat di setiap pohon dan tiang listrik dengan potongan sebilah bambu. Pada bendera kertas itu tertulis “Mbah Gundul”. Orang-orang yang melintas di jalan selalu menyempatkan diri melihat bendera itu. Ingin tahu siapa yang meninggal. Setelah sedikit rasa pilu mengetahui siapa yang meninggal, mereka lalu bertanya-tanya, “Dikuburkan di mana ya beliau nanti?”

Semua orang sudah yakin, di mana Mbah Gundul dikuburkan di situlah pasar ekonomi tercipta. Orang-orang yang mengenal Mbah Gundul akan datang menziarahi kuburannya. Berdoa, mendoakan, hingga didoakan. Mereka akan butuh kemenyan dan kembang untuk ditaburkan. Haus juga akan menyapa karena dalam perjalanan bekal yang dibawa kehabisan. Mereka ngempet pipis, dan pertama yang mereka cari ketika sampai di lokasi adalah toilet umum.

Belum selesai tentang perdebatan sengit di mana Mbah Gundul akan dimakamkan, datang masalah baru. Beberapa tokoh agama dari berbagai agama meminta agar prosesi penguburan Mbah Gundul sesuai agama mereka. Alasannya, semua sama karena Mbah Gundul pernah ikut beribadah di tempat ibadah mereka. Para tokoh agama dari berbagai agama itu yakin bahwa almarhum memeluk agama yang mereka peluk.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kabar meninggalnya Mbah Gundul diumumkan di langgar, gereja dan klenteng. Sehingga umat di tiga tempat peribadatan itu tahu. Semua merasa kehilangan. Dan mereka mengakui bahwa Mbah Gundul adalah bagian dari mereka.

***

SEMASA hidupnya, Mbah Gundul membenci rambut yang tumbuh di kepalanya. Menurut dia, rambut di kepala tak ubahnya alam kehidupan bagi hewan bernama kutu. Semakin banyak rambut, semakin banyak pula kutu yang berkembang biak. Tak heran, ia sering kegatalan sebelum dan setelah tidur. Kuku di jarinya dibiarkan memanjang, agar bisa mematikan kutu di kepalanya. Ketika selesai menggaruk kepala, ia sering menemukan bercak darah, entah darah kutu atau darah dari kuit kepalanya sendiri yang sobek. Ia memeperkan jarinya ke ujung bajunya sendiri setelah mencium bau anyir darah. Pun berbagai terapi dan sampo sudah dicobanya namun selalu gagal. Uangnya habis hanya untuk membasmi kutu sialan tersebut.

Maka ia memutuskan untuk menggundul kepalanya selama-lamanya. Botak plontos tanpa sehelai rambut.

Sejak itu ia merasa aman. Tak lagi pusing membasmi kutu-kutu yang dilaknatnya setiap pagi dan malam. Juga tak repot merawat rambut yang selalu memanjang. Dan, satu hal lagi yang ia suka. Dengan gundul, wajahnya pantas memakai tutup kepala apa saja. Sehingga tidak ada identitas khusus baginya yang menunjukkan Mbah Gundul beragama ini atau itu.

Kawan rekatnya tak hanya ada di desa di mana ia tinggal, melainkan desa sebelah di mana warung Mbok Inah berada. Di warung itu, setiap menjelang sore banyak warga cangkrukan menikmati kopi hitam bersama. Tentunya sambil membual sana-sini.

“Cucuku pengen khitan, ning bapak ibunya nggak tega mengantar,” Mbah Dirman menyulut tembakaunya, “Yowis, akhire aku ae sing nganter.

Lha, kapan khitannya, Dir?”

Mbesok Ahad iki.”

“Sama seperti cucuku berarti.”

Pembahasan khitan terus melebar. Tak hanya mengulas sejarah khitan yang dulu menggunakan irisan kulit bambu, tapi sampai kepada pembahasan mengapa laki-laki harus disunat anunya. Pak Kamituwo beralasan bahwa di pucuk anu laki-laki ada kuman yang menempel, jadi harus dipotong lalu dilipat. Sedangkan Mbah Dirman berterus terang, ia khitan setelah menikah. Katanya, dengan khitan bersenggama lebih nikmat dibanding saat burungnya masih berjaket.

Gelak tawa membahana.

Iki lagi ngobrol apa, tho?” Mbok Inah menyuguhkan kopi hitam. Kepulan asap dan aroma robusta ke mana-mana. Membuat orang yang menghirupnya akan memejamkan mata. Kenikmatan.

“Ini, Mbok, lagi membahas Mbah Gundul, kenapa dia gundul terus…” Mbah Gundul terkejut, menyetop isapan tembakaunya.

Lho kok, aku sing dadi sasaran!”

Yo ra po po yo, Mbah. Kan lelaki kalau gundul tambah rupawan. Klimis dan bersih,” bela Mbok Inah.

“Wah, dapat kode itu Mbah, ayo kapan wayuh iki…”

Mbok Inah beranjak ke dalam warung setelah canda tawa mereka memecah.

***

HARI itu, Pak Warsimin memberanikan diri menemui Mbah Gundul. Ia tidak tahan lagi karena aduan masyarakat yang tidak-tidak soal Mbah Gundul. Sebenarnya, ia enggan mempermasalahkan ini. Akan tetapi, karena istrinya mendesak agar konfirmasi langsung ke sumber masalah, ia pun mengiyakannya. Ia berjalan kaki menuju rumah Mbah Gundul yang tak jauh dari perempatan. Istrinya ingin ikut namun dicegahnya. Ia khawatir kalau-kalau istrinya malah naksir dengan Mbah Gundul—yang terkadang Mbah Gundul memang bisa memikat hati perempuan karena kegundulannya itu.

“Mas, aku ingin ikut.”

“Jangan, kamu di sini saja. Biar rumah menjagamu.”

Pak Warsimin hilang ditelan perempatan. Mbah Gundul—seperti biasa—melakukan aktivitasnya di pagi hari. Yaitu, memberi makan hewan-hewan yang dipeliharanya. Ada ayam, entok, ikan lele sampai burung terucuk yang berkicau seperti namanya sendiri. Ia dikenal sebagai sosok pencinta berbagai jenis hewan, dan hanya satu yang ia benci. Tak lain ialah kutu. Baik kutu yang tinggal di kepalanya, maupun kutu-kutu di tubuh hewan-hewan kesayangannya. Ia rela menggundulkan rambut kepalanya, tapi tidak pada peliharaannya.

“Ada apa, kok tumben pagi-pagi udah ke rumah?” Mbah Gundul menyapa Pak Warsimin yang dipersilakan duduk di balai depan rumah. Ia masih asyik masyuk bersama ayam-ayamnya.

“Ini, Mbah. Para warga banyak yang bingung. Entah Mbah tahu atau tidak. Mereka bertanya-tanya tentang agama Mbah itu sebenarnya apa. Ketika hari Jumat kadang Mbah Jumatan di masjid desa. Bahkan, kalau tidak di belakang imam persis pasti di samping bedug. Ketika hari Minggu, Mbah juga kelihatan di gereja desa sebelah. Masyarakat mengiranya, Mbah hanya tukang parkir saja. Eh, tetapi kok masuk ke dalam gereja mengikuti ritual di sana sampai selesai. Begitu juga dengan orang-orang Tionghoa, Mbah juga akrab sekali. Tidak sekali-dua kali kan, Mbah beribadah di kelenteng kabupaten?”

Ayam-ayam Mbah Gundul menjadi kikuk. Merasa ada tamu, dan tidak enak mengganggu majikannya yang sedang diajak ngobrol. Mereka menjauh. Lalu Mbah Gundul melempar dedek ke tanah.

“Saya ini orang bodoh. Tidak tahu apa-apa. Oleh keluarga pun sejak kecil tidak dididik agama. Hingga akhirnya, saya mencari agama dengan sendirinya. Saya ingin mengenal semuanya. Ingin berbuat baik kepada semuanya, tanpa rasa curiga, benci apalagi memusuhi. Maka tak salah, kalau saya akrab dengan mereka dan ikut dalam kegiatan mereka. Pak Warsimin agamanya apa? Pasti ikut orangtua kan?”

Pak Warsimin menyeruput teh. Mengangguk ringan.

“Tapi, Mbah. Bukannya nanti Tuhan cemburu. Masak Mbah menemui bayak tuhan di banyak tempat peribadatan?”

“Yang cemburu itu kalian bukan Dia.Tuhan Yang Maha Esa itu berbeda dengan kita.”

“Iya, Mbah. Tapi akibatnya, masyarakat pun bingung. Mbah ini agamanya apa?”

“Ah, biarkan saja.”

***

JENAZAH Mbah Gundul disalati di langgar. Lalu dibawa ke gereja. Dan terakhir ke kelenteng untuk didoakan. Langkah ini dinilai adil karena semua agama turut berperan pasca-kematian Mbah Gundul. Ratusan umat dan masyarakat pun berkumpul menyaksikan detik-detik terakhir Mbah Gundul dikebumikan. Lokasi yang dipilih bukan di salah satu desa yang dipimpin Pak Warsimin dan Pak Antoro. Melainkan di perbatasan kedua desa itu, di bawah pohon asam yang rindang. Tidak di tempat pemakaman umum seperti layaknya warga desa yang meninggal. Itu satu-satunya kuburan di sana.

Seiring waktu, kuburan mendiang Mbah Gundul tak kunjung sepi. Peziarah berdatangan dari berbagai umat beragama. Hingga mereka berinteraksi satu sama lain. Menjalin hubungan yang indah. Saling mengenal dan menghormati. Datang berziarah dengan busana berbeda, cara berziarah yang berbeda namun tujuan sama.

“Kamu mengapa menangis tiada henti?” tanya Mbok Inah kepada seorang ibu berbusana kebaya. Mbok Indah mendirikan cabang warung kopinya di dekat pusara kuburan Mbah Gundul.

“Aku menyesal, mengapa dulu meminta cerai.”

Lho, kamu istri yang ke berapa?”

“Saya istri yang terakhir.”

“Tidak. Saya yang terakhir.”

“Bukan, tapi saya!”

“Saya!”

Bertahun-tahun sudah Mbah Gundul meninggal, hanya Tuhan yang tahu apa agamanya dan berapa jumlah istrinya. []

Rumah Karya, 2016

Catatan:

Langgar: masjid kecil; surau.

Cangkrukan: nongkrong; kongko.

Ning: tapi.

Yowis, akhire aku ae sing nganter: ya sudah, akhirnya saya saja yang mengantar.

Mbesok: besok.

Iki: ini.

Sing dadi sasaran: yang jadi sasaran.

Yo ra po po yo: ya tidak apa-apa ya.

Wayuh: beristri lebih dari seorang.

Dedek: serbuk halus dari kulit padi untuk makanan ayam.


(cerpen ini pernah dimuat Majalah Mayara Surabaya, edisi 167 Th.XIII/Juli 2016)