Setiap menjelang tanggal 25 Desember, umat kristiani bersuka cita, dan sangat bahagia. Mereka menghias rumah dan gereja tempat ibadah mereka untuk memperingati kelahiran Isa al-Masih. Sungguh indah melihat kebahagian mereka, sehingga perlu bagi kita mengucapkan “Selamat Natal” untuk melengkapi kebahagiaan mereka. Terlarangkah bagi kita, umat Islam, mengucapkan salam semacam itu?. Selalu terjadi perdebatan yang berulang-ulang mengenai hal ini disetiap menjelasng tanggal 25 Desember. Banyak kelompok dari umat Islam yang melarangnya dan banyak juga yang membolehkannya, bahkan menganjurkannya. Bagi yang melarang dan menganggap mengucapkan “Selamat Natal” kepada umat Kristiani sebagai bentuk dosa karena kekhawatiran timbul kesalahpahaman dan mengakibatkan pengkaburan keimanan seorang muslim.

Bagi kelompok ini dipahami bahwa mengucapkan “Selamat Natal” adalah bentuk pengakuan ketuhanan Isa al-Masih, suatu keyakinan yang secara muthlak bertentangan dengan prinsip keimanan dalam agama Islam. Dengan argumentasi inilah lahir fatwa pelarangan mengucapkan “Selamat Natal”, dan segala aktifitas yang berkaitan dengan perayaan Natal, termasuk mengamankan gereja demi kelancaran perayaan Natal, aktifitas jual beli dan lainnya. Sejarah Natal adalah sejarah Isa al-Masih, sejarah kelahiran manusia agung yang membawa pesan Tuhan, menyeru cinta kasih kepada sesama manusia. Memang ada perbedaan fundamental tentang konseptual Isa al-Masih dalam tradisi ajaran agama kristen dan agama Islam. Dalam tradisi agama kristen, Isa al-Masih adalah Tuhan, sedang dalam agama Islam Isa al-Masih adalah seorang hamba dan nabi yang menjadi utusan Tuhan menyampaikan firman-firmanNya.

Salahkah kita, umat Islam, mengucapkan salam kesejahteraan kepada Isa al-Masih sebagai seorang Nabi? Bukankah agama Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk mengucapkan salam yang tertuju kepada nabi Nuh, nabi Ibrahim, nabi Musa, nabi Harun, serta juga para nabi lainnya? Mengapa mengucapkan salam kepada nabi-nabi itu dianjurkan, tetapi kepada Isa al-masih kita dilarang? Bukankah mereka sama-sama hamba dan utusan Allah? Jika dilarang, rasanya sikap kita menjadi tidak adil terhadap para nabi-nabi yang harus kita imani.

Isa al-Masih sebagai seorang utusan Tuhan datang mermbawa pesan cinta kasih kepada sesama manusia, “Kasihilah seterumu dan doakan yang menganiayamu.” Dan juga nabi Muhammad Saw datang membawa rahmat bagi seluruh alam, “Rahmatilah yang di dunia, niscaya yang di langit merahmatimu”. Isa al-Masih menunjuk dirinya sebagai “anak manusia,” sedangkan nabi Muhammad Saw diperintahkan oleh Tuhan untuk berkata: “aku manusia seperti kamu”. Keduanya datang membebaskan manusia dari kemiskinan ruhani, kemiskinan moralitas, dan belenggu penindasan oleh sesama manusia lainnya, dhu’afa atau mustadh’affin dalam bahasa al-Qur’an. Manusia adalah fokus dari tugas keduanya, dan keduanya bangga dengan kemanusiaan.

Kalau demikian ini, apa salahnya kita mengucapkan “Selamat Natal” selama akidah dan keyakinan umat Islam masih bisa terjaga, tentunya dengan pemahaman akan Isa al-masih dalam koridor konseptual yang diajarkan agama Islam. Inilah antara lain alasan argumentatif yang membenarkan umat Islam untuk mengucapkan “Selamat Natal”, mengamankan perayaan Natal dan menghormati umat kristiani.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Demi Toleransi dan kerukunan Agama apapun, Islam maupun Kristen, menuntut umatnya untuk selalu hidup dengan penuh kerukunan antar sesama. Negara kita pun, dengan prinsip yang terinternalisasikan dalam pancasila mengharuskan kepada semua warga negara menjunjung tinggi toleransi dan saling menghormati antar pemeluk agama dalam ruang kehidupan bersama. Bahwa hidup bersama dalam bingkai masyarakat majemuk dan plural ini, suatu sikap saling menghormati dan menghargai haruslah selalu terpatri dalam diri setiap manusia.

Dalam rangka interaksi sosial dan menjaga keharmonisan dalam kehidupan bersama, Islam memperkenalkan redaksi interaksi yang bijaksana, dimana lawan bicara boleh atau dapat memahami dialog sesuai dengan pandangan atau keyakinannya, tetapi berbeda dengan apa yang maksudkan oleh pengujarnya (QS 34:24-25). Dengan dasar ini, Kalaupun umat Kristiani memahami ucapan “Selamat Natal” sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya akan mengucapkannya sesuai dengan garis keyakinannya. Bahwa seorang muslim merasa turut bahagia karena kebahagiaan umat Kristiani sebagai sesama, juga mengucapkan salam kepada Isa al-masih sebagai seorang nabi selayaknya nabi-nabi yang lain. Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial untuk rangka mewujudkan kerukunan dan keharmonisan dalam kehidupan bersama.

Tidaklah menjadi sikap yang salah, dengan alasan ini, selama pengucapnya mampu bersikap arif dan bijaksana serta tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan kerukunan dalam kehidupan bersama. Tetapi juga dapat kita maklumi, bila larangan mengucapkan “Selamat Natal” menjadi tepat jika ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Kerukunan dan keharmonisan tidaklah boleh dikorbankan hanya dengan sentimen keberagamaan. Justru akan lebih indah jika dengan nilai-nilai agama kita bangun kehidupan yang harmonis, hidup penuh kerukunan dan toleransi.

Selamat natal; suatu komoditas. Kami membayangkan seandainya perayaan Natal tahun ini bertepatan dengan moment-moment politik di negeri ini. Semua kegaduhan perdebatan diatas tidak akan pernah terjadi dan umat kristiani akan lebih khusyuk menghayati perayaan Natal. Umat Islam di Indonesia akan berbondong-bondong membolehkan mengucapkan “Selamat Natal” kepada umat kristiani dengan alasan-alasan kebangsaan, tetapi siapa sangka ada kepentingan dibelakangnya. Tentu kita masih ingat betul, seorang tokoh utama “partai Islam” yang dikenal tidak pernah berkompromi dengan kelompok Non-Islam tiba-tiba datang ke gereja untuk mengikuti perayaan kenaikan Isa al-Masih bersama dengan calon presiden saat itu. Tentu kita boleh bertanya, apa tujuan dari perilaku tokoh ini?

Inilah yang menarik dari wacana keagamaan yang berkembang di negeri ini, bahwa wacana dan perdebatan keagamaan akan berhenti jika ada keuntungan secara materiil, begitu pula sebaliknya, akan terus ada kebisingan perdebatan jika memang tidak ada sesuatu yang menguntungkan bagi pihak yang berdebat. Dan ujung-ujungnya “Selamat Natal” hanya dijadikan komoditas bagi pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab dan hanya menginginkan keuntungan darinya. Kepada seluruh Umat kristiani kami ucapkan “Selamat Natal”, semoga cinta kasih mengalir untuk kita semua.

Lutfi Taufik, Mahasiswa Pascasarjana  IAIN Walisanga Semarang