KH. Abdul Wahab Chasbullah

Oleh: Muhammad Septian Pribadi*

Pada tahun 1924, Abdul Aziz ibn Sa’ud dan tentaranya merebut kekuasaan di Semenanjung Arab dari Syarif Husin. Dua kota suci, Mekkah dan Madinah dikuasai. Di bawah pemerintahan Raja Abdul Aziz ini, segala bentuk praktik keagamaan diarahkan sesuai dengan paham Wahabi. Aliran bermazhab selain Wahabi tidak diperbolehkan berkembang di sana bahkan mereka membongkar situs-situs keislaman seperti kuburan para ulama dan sahabat bahkan berniat membongkar kuburan Rasulullah SAW. hal ini kemudian dianggap berbahaya oleh para ulama dan kiai-kiai di Indonesia. Mereka ingin menyampaikan keberatan ini kepada Raja Saudi Arabia.

Mula-mula para kiai mengajukan nama KH. Wahab Chasbullah untuk bisa ikut dalam muktamar khilafah di Saudi waktu itu. Akan tetapi nama Kiai Wahab yang diajukan menjadi delegasi tahu-tahu dihapus. Alasannya karena kiai pesantren belum memiliki organisasi. Penghapusan nama Kiai Wahab ini menimbulkan kekecewaan atau bahkan kemarahan di kalangan ulama pesantren. Sehingga kemudian para ulama terpaksa bergerak menentang kebijakan penguasa baru hijaz ini dengan membentuk Komite Hijaz. Para ulama berkumpul dan berkesimpulan bahwa untuk mengirimkan delegasi ke Saudi, diperlukan organisasi yang kuat dan besar. Maka dibentuklah organisasi yang diberi nama Nahdlatul Ulama (NU), 31 Januari 1929.

KH. Wahab Chasbullah bersama Syaikh Ghonaim Al-Misri yang diutus mewakili NU untuk menemui Raja Abdul Aziz Ibn Sa’ud. Usaha ini direspon dengan baik oleh raja sehingga makam Nabi Muhammad tidak jadi dibongkar, serta ulama mazhab empat dibiarkan hidup, walaupun tidak boleh mengajar dan memimpin di Haramain. Kiai Wahab Chasbullah begitu cepat diterima oleh Raja Ibn Saud, kerena beliau pernah tinggal lama di Arab, dan mengenal semua seluk-beluk suku dan tokoh kuncinya, mengenal para ulama dan pangeran disana, termasuk mengenal para jagoan yang ada. Perkenalannya itulah yang digunakan untuk menerobos, melakukan lobi hingga mampu menemui Sang Raja dan dikabulkan beberapa usulannya.

Kemampuan diplomasi semacam ini memang telah menjadi keahlian Kiai Wahab Chasbullah. Dalam berbagai kesempatan beliau selalu menjadi ujung tombak dalam menyelesaikan masalah tanpa pertumpahan darah. Seperti halnya ketika penjajah Belanda melarang kaum Muslimin untuk menyelenggarakan pertemuan terbuka di berbagai masjid yang dihadiri banyak orang. Kiai Wahab langsung berusaha menemui Gubernur Jenderal di Batavia. Beliau menerobos dinding penjajah yang angkuh kemudian bertemu langsung dengan Van der Plaas.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Abdul Mun’im DZ (2015)  dalam catatannya mengatakan, Kiai Wahab tidak hanya berhadapan dengan pengawal yang kejam, tetapi berhadapan dengan anjingnya yang galak. Semuanya disapa dengan keramahan, seolah tidak ada keangkeran. Sang kolonialpun larut dalam suasana serba biasa dan terpaksa menerima dengan penuh keramahan. Dari pertemuan itu pembekuan dan pelarangan membuat keramaian berhasil dicairkan dan umat Islam diizinkan kembali melakukan dakwah terbuka di masjid.

Begitu pun ketika Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan beberapa ulama NU di seluruh tanah air ditahan oleh Jepang. Kiai Wahab berusaha keras melakukan diplomasi, beliau bolak-balik dari Surabaya, Solo, Jakarta hingga Purwokerto untuk membebaskan ulama yang ditahan Jepang. Usaha beliau berhasil dengan baik. Hadratussyaikh bebas bahkan dipercaya oleh Jepang sebagai ketua Shumubu (Menteri Agama). Ibarat samurai dihadapi dengan keris sutera, keberingasan Jepang dihadapi dengan kesabaran dan argumen yang meyakinkan hingga membuat Jepang percaya sepenuh hati.

Dari gaya berpikir terlihat bahwa Kiai Wahab memiliki pengetahuan dan strategi tertentu. Walaupun beliau digolongkan sebagai orang desa, kiai pesantren yang jauh dari kesan intelektual. Tapi beliau mampu berdiskusi dan berunding dengan para intelektual yang berpendidikan ala Eropa. Padahal sumber yang dibaca dan digali oleh Kiai Wahab bukan berasal dari literasi nuansa Eropa. Lebih dahsyat dari itu, Kiai Wahab telah mempelajari sejarah Mataram Kuno, belajar kepada Airlangga, Joyoboyo dan mempelajari Gajahmada. Ia berdialog intensif dengan menerapkan strategi budaya dan politik Wali Songo. Ia mendalami ajaran, amaliyah, serta strategi Dipenogoro.

Kiai Wahab Chasbullah mampu menghadapi berbagai bentuk politik yang dilancarkan pihak asing untuk merongrong NKRI. Itu terbukti ketika presiden Soekarno ingin membebaskan Irian Barat yang masih dijajah Belanda. Presiden diterpa opini negatif yang dilontarkan oleh John Foster Dulles (menteri Luar Negara AS). Gelombang opini itu bahwa Soekarno merebut Irian Barat sebagai bentuk manuver untuk  melupakan dan menutupi krisis politik dan ekonomi dalam negara.

Opini itu disiarkan secara luas oleh media barat, bahkan ditulis para intelektual dalam bentuk buku. Opini yang mematikan Bung Karno itu ditanggapi dengan sigap oleh Kiai Wahab Chasbullah dengan menyarankan pada Bung Karno agar menepis isu itu dengan siasat “diplomasi cancut taliwondo”, suatu istilah yang tidak terdapat dalam kamus atau ensiklopedi manapun, tetapi Bung Karno percaya dengan usul dan konsep Kiai Wahab itu yaitu menata politik, ekonomi, dan pendidikan, sehingga tukang fitnah itu kehilangan langkah untuk melanjutkan fitnah. Dengan demikian Bung Karno bisa melanjutkan tugasnya membebaskan Irian Barat pada Mei 1962.

Insting Saudagar

Sepulang dari belajar di Mekah tahun 1914, Kiai Wahab Chasbullah tidak hanya mengasuh pesantrennya, Tambak Beras, tetapi juga aktif dalam pergerakan nasional. Keaktifan beliau dalam pergerakan nasional ini didasarkan pada kondisi sosial saat itu yang mengalami kemorosotan hidup dan penderitaan yang mendalam, rakyat kurang memperoleh pendidikan, mengalami kemiskinan serta keterbelakangan yang diakibatkan oleh penindasan Belanda. Melihat kondisi itu, maka bersama kaum muda yang lain pada tahun 1916, Kiai Wahab Chasbullah mendirikan organisasi pergerakan yang dinamai Nahdlatul Wathon (gerakan kebangsaan) untuk membangkitkan kesadaran rakyat Indonesia. Selanjutnya untuk mencermati perkembangan dunia yang semakin kompleks yang perlu memperoleh perhatian terus-menerus maka bersama tokoh pergerakan nasional, seperti Dr. Soetomo. Pada tahun 1918, Kiai Wahab mendirikan Tasywirul Afkar (gerakan pemikiran), untuk menampung dan mengkaji pemikiran kebangsaan.

Maka sebagai organisasi yang bersikap non-kooperatif terhadap pemerintahan Belanda, dengan sendirinya organisasi ini tidak mendapat santunan dana dari pemerintah kolonial. Sehingga untuk memperkuat pendanaan gerakannya, pada tahun itu juga 1918, didirikan Nahdlatut Tujjar (gerakan saudagar) sebagai pusat penggalangan dana bagi perjuangan pengembangan Islam dan kemerdekaan Indonesia. Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari selaku guru besarnya memimpin langsung gerakan ini. Sementara Kiai Wahab Chasbullah sebagai sekretaris dan bendaharanya. Salah seorang anggotanya adalah Kiai Bisri Syansuri.

Sejalan dengan prinsip NU sebagai organisasi yang mandiri dari segala bentuk bantuan dan campur tangan penjajah, maka NU harus memperkuat basis material organisasinya agar tidak tergantung pada Belanda atau perusahaan asing lainnya. Dengan berprinsip bahwa al-I’timadu ‘alan nafsi asasun najahi (berdikari adalah pangkal kemenangan), maka dengan segala resiko prinsip tersebut dijalankan. Walaupun berbagai kesulitan di masa penjajahan, akhirnya dilampaui dengan selamat. Karena tidak ada dalam kamus pesantren meminta bantuan pada penguasa, apalagi penjajah sebagai musuh agama dan rakyat.

Dari kondisi itu Kiai Wahab menjelaskan bahwa nilai NU memiliki empat macam model siyasah (politik) yaitu pertama, siyasah tijariyah (politik perdagangan), kedua, siyasah najjariyah, ketiga siyasah falahiyah (politik pertanian) dan keempat siyasah hukumiyah (politik pemerintah). Saat itu di depan para hadirin beliau menjelaskan “Dalam situasi genting seperti ini kita hanya akan menggunakan tiga siyasah pertama, tidak menyinggung siyasah pemerintahan. Agar kita tidak terganggu oleh kolonial, sebaliknya kita berharap didukung oleh pemerintah kolonial.”

Gagasan besar Kiai Wahab mengenai keempat jenis politik itu kemudian diterjemahkan oleh KH. Wahid Hasyim menjadi Madrasah Ikhtishosiyah (sekolah khusus kejuruan), ketika mulai melakukan pembaruan pendidikan pesantren Tebuireng tahun 1938, yaitu dengan mendirikan Madrasatut Tijariyah (sekolah perdagangan), Madrasatuz Ziraah (sekolah pertanian) kemudian Madrasatun Nijarah (sekolah pertukangan), dan Madrasatul Qudlot (sekolah hukum pemerintahan). Dengan demikian sejak dini NU telah menyiapkan kader khusus di belakang teknik perekonomian dan pemerintahan sebagai dasar untuk menyiapkan kader yang siap masuk dan berperan dalam sektor modern, termasuk dalam pemerintahan saat negara ini merdeka.

Dengan menetapkan kemandirian sebagai asas organisasi, maka organisasi NU sejak awal terlepas dari segala bentuk campur tangan penjajah, yang biasanya merasuk melalui subsidi. NU mengembangkan gerakannya sendiri tanpa mengadopsi strategi Belanda. Kalangan NU mendirikan lembaga pendidikan sendiri yaitu pesantren. Sehingga tidak butuh dan bergantung pada pendidikan Barat. Kemandirian NU tidak hanya menyangkut kebebasan berpikir, tetapi juga kebebasan politik dan kebebasan ekonomi. Wallahu a’lam.


*Pimpinan Redaksi Majalah Tebuireng