sumber gambar: https://nukotatangerang.or.id

Sahal bin Mbah Mahfudh bin Mbah Salam Abdullah bin Ismail adalah seorang ulama dan cendekiawan asal Kajen Pati yang tercatat sebagai pendidik sekaligus pelopor fikih sosial di Indonesia. Beliau juga seorang pemikir serta penulis ratusan makalah berbahasa Arab dan Indonesia, dan aktivis LSM yang mempunyai kepekaan sosial tinggi terhadap problem masyarakat di sekelilingnya.

Nama Sahal Mahfudh sangat populer dengan kajian Ushul fikih dan fikih. Tidak mengherankan jika Kiai Sahal dalam mengkaji ilmu tersebut mampu mengontekstualisasikan fikih kepada kenyataan-kenyataan hidup secara baik di masyarakat. Dengan pengembangan kedua ilmu tersebut serta pengembangan pesantren dan masyarakat, Kiai Sahal mendapat penghargaan gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) pada 18 Juni 2003 di Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sahal Mahfudh lahir pada 16 Februari 1933 di Kajen, yang terletak di Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati dari pasangan yang bernama Mbah Mahfudh dan Nyai Badi’ah.[1] Keluarga ini masih mempunyai rantai nasab dengan Syaikh Ahmad Mutamakkin, seorang waliyullah sekaligus perintis Islam di daerah Kajen dan sekitarnya. Mbah Mahfudh Salam adalah saudara misan (adik sepupu) KH. Bisri Syansuri, salah satu seorang pendiri jam’iyyah Nadlatul ‘Ulama.

Pendidikan

Sejak umur 6 tahun, beliau mulai belajar agama kepada bapak dan ibunya dengan kasih sayang. Dilihat dari ayah maupun ibu, Kiai Sahal berada di lingkungan keluarga yang mendalami tradisi penguasaan khazanah kitab kuning, mengedepankan tradisi tawadhu’ dan sosial masyarakat yang kuat. Kemudian memulai pendidikan formalnya di Perguruan Islam Mathali’ul Falah Kajen, madrasah pimpinan ayahnya sendiri. Kemudian ia melanjutkan ke Pesantren Bendo, Pare, Kediri, sebuah pesantren yang diasuh oleh Kiai Muhajir, beliau adalah murid Syaikhona Kholil Bangkalan Madura. Setelah empat tahun di Bendo (1954-1957) Kiai Sahal meningkatkan kapasitas keilmuannya dengan berpindah ke pesantren Sarang, Rembang untuk memperdalam ilmu ushul fikihnya di bawah asuhan Kiai Zubair Dahlan, ayahanda Kiai Maimun Zubair. Keinginan untuk memperdalam ilmu agama seperti tak pernah habis, Kiai Sahal tak berhenti begitu saja melalang buana. Dari Sarang melanjutkan pendidikannya ke Makkah kepada Syaikh Yasin bin Isa al Fadani, seorang ulama keturunan Indonesia yang tersohor ‘alim dalam ilmu Hadis dan sanad-sanadnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

 Kiai Sahal dan Fikih Sosial

Membicarakan pemikiran Kiai Sahal, tak dapat lepas dari keilmuan di Kajen. Sebuah desa yang terkenal dengan pusat penyebaran Islam di Pati. Dalam posisi geografisnya di pesisir Jawa, ritual-ritual yang berkembang di Kajen tidak jauh dari tradisi Islam di pesisir yang lekat dengan tradisi lokal. Tradisi Islam pesisir inilah yang melatarbelakangi pemikiran, dan pemberdayaan sosial. Selain itu, pemikiran kiai Sahal banyak dipengaruhi oleh guru-gurunya saat mengenyam pendidikan pesantren serta keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan yang membuatnya bersinggungan dengan tokoh-tokoh nasional lainnya.

Kiai Sahal, dengan gagasan fikih sosialnya sebagai ulama fikih progresif, modern dan karismatik. Sikap beliau yang apresiatif terhadap segala permasalahan umat dengan menjaga khazanah nilai-nilai intelektual ulama salaf, pada kenyataannya fikih ditangan beliau menjadi fikih yang dinamis, apresiatif, dan realistik. Sehingga setiap jawaban atas permasalahan sosial yang berkembang di masyarakat selalu dapat diterima dan menarik untuk dikaji ulang. Di antara permasalahan sosial yang menarik untuk dikaji adalah gagasan fikih sosial Kiai Sahal tentang pemberdayaan masyarakat sekitar pesantren. Melalui pesantren yang diasuhnya, Kiai Sahal membentuk sebuah lembaga yakni Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM). Lahirnya lembaga tersebut bermula dari keprihatinan Kiai Sahal pada sulitnya kondisi ekonomi masyarakat sekitar pesantren.

Kegiatan pengembangan masyarakat dilakukan oleh BPPM menggunakan metode pendekatan dari dalam (development from within). BPPM memandang bahwa masyarakat pada dasarnya merupakan subyek pembangunan yang memiliki kemampuan memadai. Manusia dipandang sebagai sumber daya yang mampu mengembangkan dirinya dan sekaligus mengatasi dan mencari alternatif pemecahan masalahnya. Dalam merealisasikan hal tersebut BPPM melakukan penyuluhan, pelatihan, konsultasi dan pemberian pinjaman lunak berbentuk dana bergulir (Revolving Fund). [2]

Upaya nyata yang dilakukan Kiai Sahal dalam rangka memberdayakan masyarakat sekitar pesantren tentu tetap berada dalam tatanan syariat Islam berdasarkan pada maqasid as Syari’ah demi kemaslahatan ‘ammah. Hal ini beliau lakukan untuk menunjukkan bahwa fikih bukan sekedar membahas halal dan haram saja. Lebih dari itu, fikih pada kenyataannya mampu menjadi sebagai etika sosial dan solusi atas berbagai permasalahan sosial kekinian.

***

Di antara karya intelektualnya adalah (1) Nuansa Fiqh Sosial, (2) Thariqatul Wushul ‘ala Ghayatul Wushul, (3) Al Bayan al Mulamma’ ‘an Alfadz al Luma’, (4) al Tsamarah al Hajaniah, (5) Pesantren Mencari makna dan sebagainya. Beliau wafat pada Jumat, 24 Januari 2014 (1435 H) dan dikebumikan di komplek pemakaman Syaikh Ahmad Mutamakkin Kajen, Margoyoso, Pati. Rahimahullah ta’ala wa nafa’ana bihi. Amiin.

[1] Umdah El Bararah dan Tutik Nur Jannah, Fiqh Sosial, Fiqh Masa Depan Fiqh Indonesia. (Pati: IPMAFA Press, Cet. 1, 2016) hlm. 3.

[2] Umdah El Bararah dan Tutik Nur Jannah, Fiqh Sosial, Fiqh Masa Depan Fiqh Indonesia. (Pati: IPMAFA Press, Cet. 1, 2016) hlm. 24.


Penulis:            Zaenal Karomi

Publisher:        Farha K.