KH. Bisri Syansuri. Ilustrasi: Ilham

Oleh: Zainuddin AK*

Di masa Orde Baru pada persidangan umum MPR tahun 1978, yang membahas tentang disahkannya aliran kepercayaan dan P4 sebagai ketetapan MPR. Kiai Bisri Syansuri walk out dari ruang sidang. Tindakan ini ditunjukkan sebagai bentuk penolakannya terhadap keputusan sidang yang dianggapnya tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Keberanian Kiai Bisri melawan rezim Orde Baru saat itu menunjukkan betapa tegasnya beliau dalam mengambil sikap, apalagi itu bersinggungan dengan ajaran agama Islam yang menjadi pedomannya.

Keberanian semacam itu sudah menjadi ciri khas Kiai Bisri. Sebagaimana dalam catatan Kiai Aziz Masyhuri, bahwa setelah selesai masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun ternyata makin membuat Kiai Bisri prihatin. Ketika kemerdekaan bangsa telah berhasil diraih, ternyata tentara Belanda boncengan bersama tentara sekutu untuk memulihkan kekuasaan di Indonesia. Hal ini membuat Kiai Bisri mengambil sikap turut aktif dalam pertahanan negara dengan menjadi kepala staf Markas Ulama Jawa Timur (MODT), yang semula berkedudukan di Waru, Surabaya dan terus menerus terdesak sampai ke garis belakang. Kiai Bisri tetap bertahan hingga saat MODT bubar. Saat itu TNI telah berdiri sebagai satu-satunya angkatan bersenjata yang bertanggung jawab atas pertahanan negara.

Selain itu antara tahun 1947-1949, beliau turut serta menjadi ketua Markas Pertahanan Hisbullah Sabilillah (MPHS). Seperti yang diceritakan Jenderal Purn. A.H. Nasution tentang bagaimana Kiai Bisri saat itu masih tetap melakukan konsultasi dengan para komandan militer di daerah pertempuran di Surabaya-Jombang. Pada periode kemerdekaan itu juga Kiai Bisri terlibat sebagai Kepala Staf Komando untuk menjadi penghubung antara gerakan masa yang dikerahkan oleh Bung Tomo dengan para kiai seluruh Jawa Timur mengawali perang 10 November di Surabaya.

Dari kegigihan beliau tersebut, dapat diprediksi apa yang menjadi motivasi beliau terjun langsung ke dalam perjuangan militer, yaitu turunnya fatwa guru tercinta Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari tentang hukum Jihad Akbar dan perjuangan di jalan Allah untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan negara. Terlihat jelas di sini bagaimana keputusan di bidang fiqih ternyata mampu memotivasi Kiai Bisri untuk melakukan tindakan-tindakan besar dengan pengorbanan yang cukup besar pula.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Karakter Kiai Bisri ini tidak terlepas dari didikan orang tua dan guru beliau. Kiai Bisri terlahir dari keturunan ulama besar. Beliau lahir dalam tradisi keagamaan yang kuat dan gen keturunan yang memiliki “Ulama” bermutu tinggi di pihak ibunya. Keluarga ibunya adalah keluarga yang menurunkan beberapa orang ulama besar dalam berbagai generasi, seperti almarhum KH. Kholil Lasem dan KH. Baidlowi Lasem. Tidak heran jika dari tradisi yang demikian kuat kaitanya dengan penguasaan ilmu agama, akan tumbuh seorang agamawan yang kemudian hari akan menjadi seorang ulama terkemuka.

Sikap tegas Kiai Bisri juga dipengaruhi masa kecilnya ketika beliau mulai belajar agama pada salah seorang keluarga dekatnya yang menjadi ulama besar, yaitu Kiai Abd. Salam yang hafid Quran dan seorang faqih (ahli fikih). Di bawah ulama inilah beliau mempelajari Islam: nahwu shorof, fiqih, tashawuf, tafsir, hadits, dan lain-lain. KH. Abd. Salam menerapkan aturan-aturan kehidupan beragama yang sangat ketat. Tidak heran jika sifat berpegang pada dogma agama secara total menjadi identitas kepribadian khas Kiai Bisri. Gemblengan yang diterimanya dari KH. Abd. Salam di masa remaja ternyata sangat membekas kuat dalam dirinya.

Menginjak usia 15 tahun, Bisri muda menimba ilmu di pesantren lain. Mula-mula berguru kepada KH. Kholil Kasingan Rembang dan KH. Syu’aib Sarang Lasem. Di dua pondok pesantren ulama terkemuka itu, Kiai Bisri muda menetap hanya sebentar karena kemudian beliau berpindah pesantren lagi kepada KH. Kholil Demangan Bangkalan, seorang ulama besar yang menjadi guru hampir semua kiai terpandang di Tanah Jawa.

Di pondok pesantren KH. Kholil Bangkalan inilah beliau bertemu dengan seorang santri dari Tambak Beras Jombang yang bernama Abdul Wahab Chasbullah. Dari jalinan hubungan ini kelak akan menorehkan sejarah penting perjalanan agama Islam di Indonesia. Kemudian Pada tahun 1906, Kiai Bisri belajar dan mondok di Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Mungkin atas ajakan kawan baru yang ditemuinya di Bangkalan, Abd. Wahab Chasbullah atau juga keduanya memang tertarik oleh reputasi Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari yang begitu disegani karena kedalaman ilmu agamanya.

Di Tebuireng beliau memperdalam ilmu pengetahuan agamanya tentang fikih, tauhid, hadis, dan lain-lain. Dan di sini pula terjalin hubungan yang erat antara beliau dengan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Beliau mondok di Pesantren Tebuireng selama 6 tahun. Hubungan semakin bertambah erat dengan pemuda Abd. Wahab Chasbullah yang sudah menemaninya semenjak masih bersama-sama di pesantren KH. Kholil Bangkalan.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Tebuireng, pada tahun 1911-1914 beliau berangkat melanjutkan pendidikan di Mekah atas ajakan sahabat karibnya, Abd. Wahab Chasbullah. Kedua kawan yang berwatak saling bertolak belakang itu akhirnya sama-sama belajar di Mekah.

Pada tahun 1914, adik Abd. Wahab Chasbullah yang bernama Nur Khodijah menunaikan ibadah haji bersama ibunya. Tidak lama setelah kedatangan mereka di Mekah, Abd. Wahab menjodohkan adik kesayangannya dengan teman karib yang berasal dari Tayu itu (KH. Bisri Syansuri). Maka dari perkawinannya ini Kiai Bisri dikaruniai 10 orang anak. Bersama-sama Nyai Nur Khodijah, Kiai Bisri Syansuri mulai bekerja mendirikan pondok pesantren di Denanyar di atas tanah milik pribadi pada tahun 1917 atas dorongan mertuanya KH. Chasbullah, yang kemudian direstui oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.

Di kalangan NU, sepeninggal Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. KH. Wahab Chasbullah dan KH. Bisri Syansuri merupakan dua ulama yang saling melengkapi (dwi tunggal) dalam kepemimpinan pusat. Kiai Bisri Syansuri lebih muda usianya dari Kiai Wahab Chasbullah selisih 4 tahun, namun dua tokoh ini hampir tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hampir setiap peristiwa penting dimana hadir Kiai Wahab, disana hadir pula Kiai Bisri mendampinginya.

Tidak pernah absen kedua tokoh ini bersama mengemudikan NU sejak masih dalam bentuk jam’iyyah hingga menjadi partai politik. Kalau Kiai Wahab Chasbullah terpilih menjadi Ro’is ‘Aam maka jabatan wakilnya otomatis Kiai Bisri Syansuri. Kedua tokoh ini sebetulnya mempunyai tempat berpijak yang sama dan pangkal orientasi yang sama. Hanya saja dalam penerapan ilmunya di dalam masyarakat, kedua tokoh ini mempunyai pikiran yang berbeda. Itulah sebabnya maka di manapun mereka bertemu akan timbul perdebatan untuk mendiskusikan pendapat masing-masing.

Dalam menerapkan suatu hukum, Kiai Wahab Chasbullah senantiasa mengukur kondisi masyarakat. Bisakah masyarakat menanggung konsekuensinya? karena tujuan hukum adalah untuk diamalkan. Karena itu Kiai Wahab Chasbullah memilih hukum yang paling ringan. Pangkal berpikir Kiai Wahab ini ialah, untuk apa menerapkan hukum yang berat kalau ada hukum yang lebih ringan hingga bisa dijangkau oleh masyarakat. Bukankah tujuan hukum itu untuk dipraktekkan?

Adapun pangkal berpikir Kiai Bisri didasarkan pada faktor mental manusia. Pada umumnya manusia hendak menghindar dari tuntutan hukum meskipun hukum tersebut sudah ringan. Maka lebih baik diterapkan hukum yang lebih berat (toh bakal ditawar). Kalau seseorang melanggarnya ia masih bisa ditampung oleh hukum yang lebih ringan. Oleh karena itu fatwa-fatwa Kiai Bisri Syansuri dikenal sebagai fatwa yang keras sebab hanya mengenal alternatif halal dan haram. Bahkan dalam hal yang lebih prinsip Kiai Bisri tidak mengenal kata kompromi.

Hubungan antara Kiai Bisri dan Kiai Wahab akan terlihat berbeda saat diluar diskusi. Hubungan keduanya sangat akrab, penuh kasih sayang dan saling menghormati. Kalau kedua ulama ini kebetulan sedang berjalan, tidak pernah Kiai Bisri mengambil posisi sejajar tetapi mengambil posisi di belakang Kiai Wahab Chasbullah kira-kira 0,5 – 1 meter. Kiai Bisri tidak mau menjadi imam shalat selagi masih ada Kiai Wahab. Walaupun Kiai Wahab sendiri memintanya.

Sewaktu Kiai Wahab terpilih menjadi Ro’is Akbar sepeninggal Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari maka jabatan itu beliau tolak. Beliau merasa jabatan Rois Akbar hanya pantas bagi Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari saja. Akhirnya jabatan Rois Akbar diganti dengan Ro’is ‘Aam. Sewaktu Muktamar NU di Bandung tahun 1967 muktamirin memilih Kiai Bisri Syansuri sebagai Ra’is ‘Aam karena KH. Wahab Chasbullah sakit keras dan dianggap oleh sebagian muktamirin sudah udzur, sehingga beberapa muktamirin merasa kasihan. Lalu Kiai Bisri langsung naik di atas podium dan berkata lantang: “Saya tidak bersedia dicalonkan maupun dipilih menjadi Ro’is ‘Aam selagi KH. Wahab Chasbullah masih ada.”

Pola hubungan yang mengaitkan Kiai Bisri Syansuri, Kiai Wahab Chasbullah dan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari ini tergambar sebagaimana diungkapkan oleh Kiai Musthafa Bisri (Gus Mus) bahwa hubungan ketiganya selayaknya Rasulullah dengan dua muridnya yang terkasih yaitu Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Bagaimana dua santri Rasulullah tersebut, yang satu memiliki perilaku  lembut, dan satunya tegas. Kiai Bisri Syansuri bersikap tegas karena dilandasi keilmuan fikihnya kemudian ditambah dengan karakter beliau yang sudah berwatak begitu dari awal. Artinya sikap tegas beliau ini bukan hanya dibentuk oleh pengetahuan fikihnya semata, tetapi juga karena karakter bawaan beliau sejak lahir. Seperti halnya Sayyidina Umar yang tahu persis apa yang diajarkan Rasulullah, tapi sikap beliau, pribadi beliau, karakter beliau jugalah yang menentukan bahwa beliau memang tegas dan keras.

Gus Mus mangkaitkan pola hubungan ini bukan dalam kapasitas membanding-bandingkan Kiai Wahab dengan Sayyidina Abu Bakar atau Kiai Bisri dengan Sayyidina Umar. Tapi lebih dalam pengertian bahwa bukan hanya fikih yang menjadikan Kiai Bisri bersikap tegas, karena melihat Kiai Wahab dan Kiai Bisri dalam menuntut ilmunya hampir sama. Artinya bukan hanya fikih yang dipelajari Kiai Bisri. Beliau memulainya dengan ilmu nahwu dan shorof. Dengan menggunakan ilmu alat tersebut, semua ilmu bisa dikuasai. Namun secara terapan Kiai Wahab kerap kali menggunakan pendekatan ushul fiqh, sehingga kelenturannya sangat terlihat. Kiai Wahab menggunakan kaidah, bukan menggunakan teks, sedangkan Kiai Bisri lebih suka menggunakan teks, karena lebih hati-hati. Wallahu a’lam.


*Alumnus Madrasah Muallimin Hasyim Asy’ari Pesantren Tebuireng. Mantan Pimpinan Redaksi Majalah Tebuireng yang kini menjadi pengajar di Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang.