Gus Sholah

Periode kepemimpinan Ir. H. Salahuddin Wahid di Tebuireng boleh dibilang sebagai Periode Revitalisasi. Karena sejak awal kepemimpinannya, putra ketiga Kiai Wahid Hasyim ini banyak melakukan pembenahan internal di hampir semua sektor. Segala hal yang dirasa kurang maksimal dibenahi dan jika perlu ditambahi, baik itu bersifat fisik maupun non-fisik.

Sampai pertengahan tahun 2011, upaya-upaya revitalisasi sudah mulai menampakkan hasil. Setahap demi setahap upaya perbaikan mulai terasa manfaatnya, meskipun belum maksimal.

Kelahiran dan Pendidikan

Salahuddin Wahid lahir di Jombang pada 11 September 1942, dengan nama kecil Salahuddin al-Ayyubi. Anak ketiga dari 6 bersaudara ini melalui masa kecilnya di Pesantren Denanyar, Jombang, tempat tinggal kakeknya dari garis ibu, KH. Bisri Syansuri. Pada tahun 1947 Salahuddin pindah ke Tebuireng, menyusul wafatnya Hadratus Syekh Kiai Hasyim Asy’ari yang digantikan oleh ayahnya, KH. Wahid Hasyim. Selanjutnya pada awal tahun 1950, ketika ayahnya diangkat menjadi Menteri Agama, Salahuddin ikut pindah ke Jakarta.

Pendidikan dasarnya ditempuh di SD KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), dimana para gurunya banyak yang menjadi anggota pergerakan, termasuk orang-orang komunis. Pengalaman di sekolah ini membuatnya terbiasa hidup di lingkungan yang heterogen sehingga terbiasa menghadapi perbedaan. Ketika naik ke kelas IV, Salahuddin pindah ke SD Perwari yang terletak di seberang kampus UI Salemba.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Antara tahun 1955-1958, Salahuddin melanjutkan sekolahnya di SMP Negeri I Cikini. Di SMP ini ia memilih jurusan B (ilmu pasti). Setelah lulus SMP ia masuk SMA Negeri I yang populer dengan sebutan SMA Budut (Budi Utomo), karena terlatak di Jalan Budi Utomo. Selama di SMA Budut, Salahuddin aktif di Kepanduan Ansor dan OSIS.

Tahun 1962 Salahuddin tamat SMA dan melanjutkan pendidikannya ke Institut Teknologi Bandung (ITB). Dia memilih jurusan arsitektur, meskipun sebenarnya juga berminat masuk jurusan ekonomi atau hukum. Semasa kuliah di Bandung, ia aktif dalam kegiatan Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa. Sejak tahun 1967, ia juga aktif di organisasi mahasiswa ekstra kampus, dan memilih Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai wadah bernaungnya.

Di samping bersekolah, sejak kecil Salahuddin bersama saudara-saudaranya juga belajar mengaji. Ini merupakan aktivitas rutin yang wajib dilakukan setiap hari. Ketika ayahnya masih hidup, kegiatan mengaji dipimpin langsung oleh sang ayah. Setelah Kiai Wahid wafat, tugas itu diambil alih oleh sang ibu. KH. Bisri Syansuri yang sering ke Jakarta, juga ikut mendidik mereka.

Selain belajar membaca Al-Qur’an, remaja Salahuddin juga belajar fiqh, nahwu, sorof, dan tarikh. Guru-gurunya antara lain Ust. Muhammad Fauzi dan Ust. Abdul Ghoffar. Keduanya alumni Pesantren Tebuireng yang tinggal di Jakarta.

Salahuddin sempat merasakan pendidikan pesantren melalui Pesantren Ramadhan. Selama beberapa kali liburan sekolah di bulan Ramadhan, ia belajar ke Pesantren Denanyar Jombang bersama adiknya, Umar Wahid. Menginjak usia dewasa, cara yang ditempuhnya untuk belajar adalah dengan membaca sendiri buku-buku keagamaan.

Berkeluarga

Pada tahun 1968, pemuda Salahuddin menikah dengan Farida, putri mantan Menteri Agama, KH. Syaifudin Zuhri. Pernikahan ini cukup unik, karena keduanya sama-sama anak mantan Menteri Agama. Padahal disini tidak ada unsur kesengajaan. Salahuddin terlebih dahulu mengenal (calon) istrinya sebelum mengenal (calon) mertuanya. Ia tertarik dengan Farida meskipun—saat itu—belum tahu bahwa Farida adalah putri mantan Menteri Agama.

Setelah pernikahan tersebut, kuliah Salahuddin sempat terhenti cukup lama, dan baru aktif kembali pada tahun 1977. Ia dapat menyelesaikan studinya pada tahun 1979.

Dari pernikahan ini, pasangan Salahuddin Wahid-Farida dikaruniai tiga orang anak, yaitu Irfan Asy’ari Sudirman (Ipang Wahid), Iqbal Billy, dan Arina Saraswati.

Berkarier dan Aktif Menulis

Sejak masih kuliah, Salahuddin (selanjutnya disingkat Gus Solah) telah mulai merintis kariernya di bidang kontraktor. Pada tahun 1970, ia mendirikan perusahaan kontraktor bersama dua orang kawan dan kakak iparnya, Hamid Baidawi. Perusahaan itu bertahan hingga tahun 1977. Selain itu Gus Solah juga pernah bergabung dengan Biro Konsultan PT MIRAZH, menjadi Direktur Utama Perusahaan Konsultan Teknik (1978-1997), Ketua DPD Ikatan Konsultan Indonesia/Inkindo DKI (1989-1990), Sekretaris Jenderal DPP Inkindo (1991-1994), Assosiate Director Perusahaan Konsultan Properti Internasional (1995-1996), dan masih banyak yang lain. Singkatnya, sejak tahun 1970 hingga 1997, sebagian besar aktivitasnya adalah di bidang arsitektur dan konstruksi.

Pada tahun 1998, Gus Solah meninggalkan kegiatannya di bidang ini. Ia mulai memanfaatkan waktunya membaca buku sekaligus mulai menulis. Sejak tahun 1993, beliau menjadi pimpinan redaksi majalah Konsultan. Setalah itu aktif menulis di harian Republika, Kompas, Suara Karya, dan lain sebagainya.

Gus SholahTulisan-tulisannya banyak menyoroti berbagai persoalan yang sedang dihadapi umat dan bangsa. Pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasannya seringkali berbeda dengan kakak kandungnya, Gus Dur. Bahkan ia pernah berpolemik dengan Gus Dur tentang hubungan agama dan negara di harian Media Indonesia.[1]

Selain menulis di media massa, Gus Solah juga banyak menulis buku. Karya-karyanya yang telah dibukukan, antara lain adalah: Negeri di Balik Kabut Sejarah (November 2001), Mendengar Suara Rakyat (September 2001), Menggagas Peran Politik NU (2002), Basmi Korupsi, Jihad Akbar Bangsa Indonesia (Nopember 2003), Ikut Membangun Demokrasi, Pengalaman 55 Hari Menjadi Calon Wakil Presiden (Nopember 2004).

[box type=”custom” color=”#000000″ bg=”#ffffff” fontsize=”14″ radius=”10″ border=”#dd5500″][1] Hasil polemik tersebut dibukukan oleh Forum Nahdliyyin Untuk Kajian Strategis, Jakarta, dan diberi judul KH. A. Wahid Hasyim Dalam Pandangan Dua Putranya. Dialog antara GusDur-Mas Solah Mengenai Pandangan Politik Keislaman Sang Ayah (1998).[/box]

Sejak pertengahan tahun 2007, Gus Solah mengumpulkan naskah-naskah tulisannya yang pernah diterbitkan di berbagai media, untuk diterbitkan dalam bentuk buku. Selain itu, Gus Solah juga sering diminta memberikan pengantar pada buku-buku karya penulis lain.

Kemampuan menulis Gus Solah tidak lepas dari kegemarannya membaca sejak usia muda.[2] Kebiasaan itu terus dipertahankan hingga usia tua. Setiap ada waktu longgar, Gus Solah selalu menyempatkan diri membaca. Kebiasaan ini semakin intens di bulan Ramadhan. Dalam satu bulan, sepuluh judul buku bisa habis dibacanya. Menurut pengakuan Gus Solah, dia biasanya menyediakan waktu untuk membaca sebelum dan sesudah makan sahur, setelah Salat Shubuh, pagi hari, dan juga sore hari.

[box type=”custom” color=”#000000″ bg=”#ffffff” fontsize=”14″ radius=”10″ border=”#dd5500″][2] Mungkin karena ini pula Gus Solah sudah memakai kacamata sejak usia muda. Semua anak Kiai Wahid sejak kecil memang sudah berkacamata, seperti tampak dalam foto buku Karangan Tersiar karya Abu Bakar Atjeh.[/box]

Terjun di Dunia Politik

Jika Gus Dur dinilai anti ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) karena sering mengkritik lembaga ini, maka Gus Solah bersikap sebaliknya. Ia justru masuk menjadi anggota ICMI, bahkan pernah terpilih menjadi Anggota Dewan Penasehat ICMI sejak 1995 hingga 2005. Lalu pada tahun 2000, terpilih menjadi Ketua MPP ICMI periode 2000-2005. Keanggotaannya di ICMI membuat Gus Solah semakin dekat dengan dunia politik.

Sejak bergulirnya Era Reformasi, keterlibatan Gus Solah dalam bidang politik semakin intens. Pada tahun 1998 ia ditawari menjadi Sekjen PPP dengan calon Ketua Umum, Amien Rais. Akan tetapi rencana itu gagal karena Amien Rais menolak dan memilih mendirikan partai sendiri (PAN). Setelah itu ia bergabung dengan Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan menjadi Ketua Dewan Pimpinan Pusat serta Ketua Lajnah Pemenangan Pemilu PKU. PKU adalah partai yang didirikan oleh Kiai Yusuf Hasyim.

Pada September 1999 Gus Solah mengundurkan diri dari PKU. Lalu pada Muktamar NU ke-30 di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Gus Solah ikut maju sebagai salah seorang kandidat Ketua Umum PBNU. Gus Solah kemudian terpilih sebagai salah satu ketua PBNU periode 1999-2004. Pada Muktamar NU tahun 2004 di Solo, Gus Solah yang ditawari kembali menjadi ketua PBNU menolak tawaran tersebut.

Keterlibatan Gus Solah di NU sebenarnya sudah dimulai sejak lama. Pada tahun 1977 ia bersama aktivis muda NU membentuk ”Kelompok G” yang kelak menjadi cikal bakal tim yang mempersiapkan materi kembalinya NU ke Khittah 1926. Namun keterlibatan itu baru diketahui publik sejak tahun 1990-an, dan semakin intens sejak tahun 2000-an.

Pada akhir tahun 2001, Gus Solah didaftarkan oleh adik iparnya, Lukman Hakim Syaifudin, sebagai calon anggota Komnas HAM. Meskipun dengan persiapan sekedarnya, ia berhasil lolos dalam uji kelayakan (fit and proper test), sehingga terpilih sebagai salah satu dari 23 anggota Komnas HAM periode 2002-2007. Pada saat yang sama, Gus Solah terpilih sebagai Wakil Ketua II Komnas HAM.

Selama berkiprah di Komnas HAM, Gus Solah sempat memimpin TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) untuk menyelidiki kasus Kerusuhan Mei 1998 (Januari-September 2003), kemudian Ketua Tim Penyelidik Adhoc Pelanggaran HAM Berat kasus Mei 1998, Ketua Tim Penyelidikan Kasus Pulau Buru, dan lain sebagainya. Sejak saat itu popularitasnya semakin menanjak.

Ketika sistem pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung, Gus Solah dipinang Golkar untuk maju sebagai Cawapres berpasangan dengan Wiranto. Deklarasinya dilakukan di Gedung Bidakara, Jakarta, Selasa 11 Mei 2004. Ini merupakan babak baru dari perjalanan karir politiknya. Untuk menunjukkan keseriusannya sebagai Cawapres, Gus Solah mengundurkan diri dari Komnas HAM dan PBNU.

 

Memimpin Tebuireng

Pada bulan Pebruari 2006, Pak Ud menelpon Gus Solah dan menyampaikan niatnya untuk mundur dari jabatan pengasuh Tebuireng. Pak Ud meminta Gus Solah untuk menggantikannya. Lalu pada tanggal 12 April 2006, Gus Solah bertemu dengan Pak Ud dan keluarga besar Tebuireng serta para alumni senior, untuk mematangkan rencana pengunduran diri Pak Ud dan naiknya Gus Solah sebagai pengasuh Tebuireng. Keesokan harinya, pergantian pengasuh diresmikan bersamaan dengan acara Tahlil Akbar Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari dan Temu Alumni Nasional Pondok Pesantren Tebuireng yang dilangsungkan di halaman pondok.

Gus SholahLangkah pertama yang diambil Gus Solah dalam memimpin Tebuireng adalah melakukan ”diagnosa” atau mendeteksi ”penyakit” yang sedang menimpa Tebuireng. Sejak bulan April hingga akhir tahun 2007, Gus Solah secara berkala mengadakan rapat bersama unit-unit yang ada di bawah naungan Yayasan Hasyim Asy’ari. Dia meminta laporan tentang kendala yang dihadapi, disamping meminta masukan dan kritik dari mereka. Gus Solah juga menurunkan ”mata-mata” yang turun langsung ke kamar-kamar untuk menanyai para santri tentang kinerja pengurus pondok.

Selama memimpin Tebuireng, Gus Solah berupaya menggugah kesadaran para guru, Pembina santri, dan karyawan Tebuireng, untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kinerja berdasar keikhlasan dan kerjasama. Langkah kongkritnya adalah mengadakan pelatihan terhadap para guru dengan mendatangkan konsultan pendidikan Konsorsium Pendidikan Islam (KPI), yang juga membantu para kepala sekolah untuk menyusun SOP, Standard Operating Procedure, bagi kegiatan belajar mengajar (KBM).

Mulai awal tahun 2007, di Tebuireng diterapkan sistem full day school di semua unit pendidikan. Para pembina dibekali dengan latihan khusus, baik latihan kedisiplinan dan psikologi, sehingga dapat menjalankan tugas dengan baik.Gus Sholah

Rencananya, seorang pustakawan akan didatangkan guna mengelola perpustakaan secara sistematis dan terarah. Pada saat yang sama, Madrasah Mu’allimin dan Ma’had Aly didirikan, serta kegiatan pengajian dilkakukan secara klasikal melalui Madrasah Diniyah dan kelas Takhassus.

Sejak awal kepemimpinannya, Gus Solah berupaya memperbaiki sarana fisik secara bertahap. Klinik kesehatan dibangun di dekat kompleks SMA, masjid diperluas dan ditingkatkan mutunya dengan tetap mempertahankan bangunan lama, ruang makan juga diperbaiki, dan gedung-gedung tua direnovasi. Seluruh proses pembangunan fisik ini ditargetkan selesai dalam 5-7 tahun.

Gus Sholah
Memimpin rapat di aula Pesantren tebuireng

Selain memimpim Tebuireng, aktivitas Gus Solah di berbagai kegiatan sosial tetap padat. Dia menjadi anggota Forum Pemantauan Pemberantasan Korupsi (2004), Barisan Rakyat Sejahtera (Barasetra), Forum Indonesia Satu (FIS), Kajian Masalah Kepahlawanan yang dibentuk oleh IKPNI (Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia), dan lain-lain.()