Sumber gambar: islam.com

Oleh: Yayan Musthofa*

“Semoga di antara kita ada (adalah) yang dicintai oleh Allah, sehingga apa yang kita hajatkan dipermudah oleh-Nya, Amin, al-fātihhah! (Aang Baihaqi)

Dalam kajian tasawuf, bahasan kekasih Allah Swt (wāli) selalu menyimpulkan tentang dirahasiakannya mereka oleh Allah. Bahkan ada yang mengatakan bahwa sebagian wali itu sendiri tidak mengerti bahwa dia adalah kekasih Tuhannya. Seperti halnya kisah Syaikh Abdullah yang pernah diceritakan KH. Muthaharun Afif, mursyīd tharīqah qadiriyah wa naqsabandiyah di Mojokerto.

Konon, Syaikh Abdullah adalah orang yang sabar, susah untuk marah. Allah mengujinya dengan mengutus malaikat Jibril kepada istrinya agar sang istri mengusirnya dari rumah. Syaikh Abdullah pun akhirnya pergi dari rumah tanpa tujuan.

Pada suatu malam turun hujan lebat. Ia lari mencari tempat berteduh terdekat sampai ketemu sebuah gua. Dikiranya di gua itu tidak ada orang sama sekali tetapi ternyata sudah ada dua penghuni yang sedang ‘uzlah (menyepi untuk mendekatkan diri pada Allah).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Syaikh Abdullah meminta izin untuk ikut berteduh dan bertempat tinggal di gua tersebut untuk beberapa hari dengan satu syarat yang telah ditentukan oleh dua penghuni sebelumnya. Syaratnya gampang, hanya saling pengertian. Syaikh Abdullah menyetujui syarat yang mereka ajukan, dan dia diperkenankan tinggal di gua bersama mereka.

Ketika jam makan datang, penghuni pertama berdoa kepada Allah Swt agar diberikan makanan untuk kebutuhan mereka. Satu peristiwa yang tidak terpikirkan oleh sang Syaikh, datanglah satu nampan makanan yang diminta untuk mencukupi mereka bertiga. Begitu juga pada jam makan berikutnya, penghuni kedua berdoa kepada Allah, dan datanglah satu nampan makanan seperti sebelumnya.

Syaikh Abdullah mulai terbayang-bayang, “Jangan-jangan jam makan berikutnya adalah giliranku yang harus menyediakan makanan?” Terang saja, jam makan berikutnya, mereka berdua berkata, “Sekarang giliran Anda untuk menyediakan makanan.” Sang Syaikh bingung harus berbuat apa. Ingin membeli makanan, tidak mungkin. Dia diusir tanpa berbekal apa pun untuk ditukarkan dengan kebutuhan kesehariannya. Ia mengutarakannya pada kedua sahabatnya tersebut, “Saya tidak bisa menyediakan makanan. Beli tidak mungkin, dan doa saya tidak bisa seperti Anda berdua.”

“Kita tidak mau tahu. Kita sudah sepakat untuk saling pengertian. Sekarang giliran Anda untuk pengertian pada kita,” jawab kedua penghuni sahabatnya itu. Karena tidak punya pilihan lagi, maka Syaikh Abdullah berdoa, “Ya Allah, datangkanlah makanan seperti halnya Engkau mendatangkan pada mereka berdua sebelumnya.” Kedua sahabatnya terperangah—begitu juga dengan Syaikh Abdullah—sebab tidak disangka, ternyata Allah mendatangkan dua nampan makanan. Dari situ kemudian, kedua sahabat tersebut menanyakan perihal Syaikh Abdullah, “Sebenarnya Anda ini siapa?”

“Saya Abdullah dari kota A,” jawabnya singkat. Kedua penghuni goa itu lantas terhenyak kaget sejenak, lantas mencium tangannya sungkem. Salah satu dari mereka berkata, “Saya berdoa meminta makan kepada Allah dengan wasīlah (perantara) Syaikh Abdullah dari kota A.” Begitu juga dengan temannya, mengakui bahwa dia juga berwasilah dengan nama Syaikh Abdullah. Padahal, Sang Syaikh sendiri tidak mengerti kalau dirinya adalah sosok makhluk yang dicintai Tuhannya dan dijadikan wasīlah ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah.

Terlepas dari kebenaran cerita, sebenarnya banyak peristiwa yang semisal dengan cerita di atas dalam kehidupan keseharian. Ambil perumpamaan dari kasus dalam pesantren. Ustadz Karomi mencintai Anita—santriwatinya—secara diam-diam, sedangkan Anita tidak mengerti kalau sebenarnya Ustadz Karomi mencintai dan sering memperhatikannya. Ditinjau dari kapasitas, Anita bukanlah sosok yang tergolong pandai, dan tidak juga cantik dalam pandangan santriwati lainnya. Akan tetapi realita berkata, Ustadz Karomi dengan subyektifitas kemanusiaannya telah mencintai Anita santriwatinya tersebut.

Cinta Ustadz Karomi kepada Anita dapat membahayakan Rosalia jika ia melukai Anita, walaupun tanpa dasar kesengajaan. Paling tidak, Ustadz Karomi merasa sakit hati meskipun berusaha tetap dipendam dalam-dalam. Yang lebih menyakit Ustadz Karomi dalam kasus ini sebenarnya, Anita tidak mengerti kalau Ustadz Karomi merasakan sakit hati kepada Rosalia karena menyakitinya.

Contoh lain dalam perkantoran. Anton (seorang menejer) mencintai Novi  (pegawainya) secara diam-diam. Hubungan cinta antara manejer dengan pegawainya ini dapat berakibat fatal bagi pegawai lainnya (Reni). Jika suatu ketika Reni menyakiti Novi tanpa mengetahui kalau sebenarnya Novi adalah sosok yang dicintai oleh Anton. Reni dapat dipecat dari kantor oleh Anton walaupun dia tidak mengerti kalau sebenarnya Novi adalah sosok yang dicintai oleh Anton.

Padahal Novi sendiri juga tidak mengerti kalau sebenarnya si Anton diam-diam mencintai perangainya. Secara fisik dia tidak lebih cantik ketimbang Reni dalam pandangan rekan-rekannya, tidak lebih piawai dalam kinerja ketimbang Reni, dan seterusnya. Maka tidak ayal jika kemudian Novi menyimpulkan bahwa Si Anton tidak akan mencintainya. Akan tetapi realita cinta perkantoran berbicara lain.

Kita sebagai sesama ciptaan Allah seperti halnya rekan-rekan dari Rosalia atau Reni. Hanya bisa berhati-hati dan menduga-duga bahwa si A, B, atau C adalah orang yang dicintai oleh Allah dengan pertimbangan satu, dua, dan tiga. Padahal sesungguhnya masih semu tidak ada yang tahu. Jangan-jangan seorang satpam kantor adalah orang yang lebih disayangi Allah ketimbang manejer dengan pertimbangan Allah sendiri. Jangan-jangan si tukang becak adalah orang yang lebih dicintai oleh Allah ketimbang para bos-bos bermobil atau para da’i kondang.

Kekasih Allah tetap semu dengan pertimbangan dan kehendak-Nya sendiri. Maka, sebagai sesama manusia yang selalu berharap rida-Nya, jangan sampai menyakiti hati kekasih-Nya yang dapat menjadikan fatal hubungan kita terhadap Tuhan Pencipta kita, dan malah menjadi penghalang bagi kedekatan kita pada Allah. Artinya, kita harus berbuat baik kepada semua tanpa mengenal “atribut strata kemanusiaan” di mata manusia karena di mata Allah, dia masih dirahasiakan oleh-Nya.


Alumni Ma’had Aly Tebuireng dan aktif di Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng