aswaja-lahir-batin-30wny0nu1w8tam3cubokcq
Sumber gambar: https://alhadiy.com/

Oleh: Ustadz Yusuf Suharto

Dalam hadits Nabi Muhammad Saw. tersirat, “Sebaik-baik umatku adalah mereka yang hidup seabad denganku, kemudian abad berikutnya, kemudian abad berikutnya.” Sesuai dengan pemaknaan yang dipilih oleh al Hafizh Abu al Qasim Ibnu Asakir dan para ulama lainnya, dan mereka kaum Ahlussunnah wal Jama’ah- juga yang dimaksudkan dalam hadits riwayat at Tirmidzi dan lainnya: “Aku berwasiat kepada kalian untuk mengikuti sahabat-sahabatku, kemudian generasi setelah mereka, kemudian generasi setelah mereka”.

Dalam kelanjutan hadits tersebut tersingkap: “Tetap berpegang teguhlah kalian pada mayoritas umat, dan jangan terpecah belah, karena setan itu bersama satu orang, dan dia akan lebih jauh dari dua orang, barangsiapa menginginkan tempat yang lapang di surga maka hendaklah ia berpegang teguh dengan ajaran al Jama’ah.”  Menurut al Hakim dan at-Tirmidzi menilai hadits ini adalah hadits hasan shahih. Mereka –kaum Ahlussunnah wal Jama’ah- juga yang dimaksudkan dengan al Jama’ah yang tersebut dalam hadits riwayat Abu Dawud bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua di antaranya akan masuk neraka, dan hanya satu yang masuk surga, yaitu al Jama’ah.” Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mayoritas umat dan kelompok yang selamat.

Semenjak tahun 260 Hijriyyah telah menyebar bid’ah dalam aqidah dari golongan Mu’tazilah, Syiah, Musyabbihah, dan lainnya, namun Allah ta’ala menjadikan dua imam besar Abu al Hasan al Asy’ari (w. 324 H) dan Abu Manshur al Maturidi (w. 333) –semoga Allah meridlai keduanya-, mereka berdua berjuang dengan menjelaskan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang merupakan aqidah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan menetapkan dalil-dalil naqli dan aqli serta bantahan terhadap syubhat-syubhat itu, sehingga akhirnya Ahlussunnah dinisbatkan kepada mereka berdua, dan dikatakan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah Asy’ariyyun (pengikut Imam Asy’ari) dan Maturidiyyun (pengikut Imam Maturidi). Al ‘Izz ibn Abdissalam menyebutkan bahwa aqidah imam al Asy’ari telah disepakati oleh para penganut madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan pemuka-pemuka madzhab Hanbali.

Al Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam Syarh Ihya’ Ulum ad-Din berkata : “Jika disebutkan Ahlussunnah wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah Asy’ariyyah dan Maturidiyyah”. Al Faqih al Hanafi Ibnu Abidin dalam Hasyiyahnya berkata: Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kaum Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.” Mazhab yang benar yang dianut oleh as-Salaf as-Shalih adalah madzhab yang dianut oleh Asy’ariyyah dan Maturidiyyah, pengikutnya berjumlah ratusan juta ummat Islam, lalu bagaimana mungkin mereka yang mayoritas itu dikatakan sesat?

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Rasulullah Saw. bersabda, bahwa mayoritas umatnya tidak akan berada dalam kesesatan secara bersama-sama, dan ini adalah salah satu keistimewaan bagi umat Nabi Muhammad ini, hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah menunjukkan akan hal ini, yaitu sabda beliau: “Allah tidak menjadikan umat ini bersepakat semuanya dalam kesesatan.” Dan dalam riwayat Ibnu Majah dengan tambahan: “Kalau kalian melihat adanya perselisihan, maka berpegang teguhlah pada ajaran mayoritas umat.”

Jelaslah, bahwa aqidah yang benar yang dianut oleh generasi as-Salaf as-Shalih adalah ajaran yang dianut oleh Asy’ariyyah dan Maturidiyyah, jumlah mereka mencapai ratusan juta umat Islam, mereka adalah kelompok mayoritas dalam umat ini, penganut Madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi dan pemuka-pemuka Mazhab Hanbali yang lurus, dan Rasulullah Saw. telah mengabarkan bahkan mayoritas umatnya tidak akan tersesat, maka sungguh beruntung orang-orang yang berpegang teguh dengan ajaran ini. Wajib hukumnya untuk bersungguh-sungguh dalam mempelajari aqidah al Firqah an Najiyyah ini, yang mana mereka itu adalah kelompok mayoritas umat Muhammad Saw., karena ilmu aqidah adalah ilmu yang paling utama, ilmu yang menjelaskan tentang fundamen agama.

Banyak ulama yang menulis kitab-kitab berisi penjelasan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, seperti Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (w. 321 H), al Imam an-Nasafi (w. 573 H), Abu Abdillah Muhammad ibn Abdillah al Hasani yang lebih dikenal dengan julukan Ibnu Tumart (w. 524 H), yang mana kitab ini diajarkan oleh Syekh Fakhruddin Ibnu Asakir (w. 620 H).

Sikap ghuluw pada banyak orang yang mengaku pengikut madzhab Hanbali

Dinamakan Hanabilah karena mereka berafiliasi kepada Imam Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal as-Syaibani (w. 241 H), salah seorang ulama mujtahid yang terkemuka. Imam Ahmad diberikan ujian dengan banyaknya orang yang berafiliasi kepada beliau, sebagaimana Imam Ja’far as-Shadiq diuji dengan banyak orang yang berafiliasi kepadanya, dan sebagaimana beberapa ulama lainnya diuji dengan murid-murid mereka yang menyimpang, menambah-nambah pada pendapat mereka hal-hal yang sebetulnya jauh di luar pendapat mereka itu, dan berbohong dengan mengatasnamakan mereka.

Oleh karenanya kita temukan banyak ulama-ulama terkemuka seperti al Baihaqi, Ibnu al Jauzi, Abu al Hasan al Asy’ari meriwayatkan dari Imam Ahmad dengan sanad-sanad yang kuat, berbeda dengan riwayat-riwayat para pengikut beliau sendiri yang berlebihan dan menyimpang. Tapi yang saya maksudkan di sini, kita tidak boleh menisbatkan kepada Imam Ahmad semua yang dinisbatkan kepada beliau oleh setiap orang yang berafiliasi kepada beliau.  Imam Ahmad sendiri terkenal dengan keteguhan iman beliau setelah dilakukan imtihan dalam peristiwa mihnah khalq al Qur’an yang terjadi pada awal abad ketiga hijriyyah.

Tidak diragukan lagi bahwa aqidah tajsim dan tasybih (menyerupakan) Allah dengan makhluk-Nya telah dimunculkan oleh beberapa orang sebelum Hanabilah, seperti al Mughirah ibn Said, Hisyam ibn al Hakam, dan yang semasa dengan mereka seperti al Karramiyyah pengikut Muhammad ibn Karram as-Sijzi (dan kebanyakan as-Sijziyyin memiliki aqidah tajsim), jadi sebenarnya pengikut-pengikut madzhab Hanbali yang menyimpang tidak merintis bid’ah tajsim dan tasybih ini, tapi mereka menghimpun apa yang terpisah-pisah dari pendahulu mereka, lalu menambah-nambahinya, menyebarkan dan membelanya sebagai akibat permusuhan mereka dengan kelompok Mu’tazilah dan lain-lain yang teramat berlebih-lebihan dalam menafikan sifat. Sejarah kemunculan pengikut-pengikut madzhab Hanbali yang ekstrim dan gerakan-gerakan mereka berkaitan dengan paham tajsim, tasybih, menggunakan kekerasan yang membuat jengkel, dan penyebaran fitnah, seperti yang dijelaskan oleh Ibnu al Atsir dalam tarikhnya tentang fitnah-fitnah yang ditimbulkan oleh para pengikut Madzhab Hanbali yang menyimpang pada beberapa tahun; 310 H, 317 H, 323 H, 329 H, 447 H, 469 H, 475 H, 488 H, 567 H, 596 H.

Pengkafiran yang Dilakukan Ulama Wahabi

Mujassimah zaman sekarang –yaitu kelompok Wahhabiyyah- juga seperti ini, salah satu pemuka mereka yang bernama al Qanuji menyebutkan dalam kitabnya yang dia beri nama ad-Din al Khalish (juz 1/hal 140): “Taqlid kepada mazhab adalah kesyirikan”, dengan ini berarti bahwa dia telah mengkafirkan semua ummat Islam pada masa sekarang ini, karena ummat Islam saat ini semuanya adalah penganut mazhab empat, dan mereka itu menurut kelompok Wahhabi adalah kafir.  Ali ibn Muhammad ibn Sinan pengajar di masjid an-Nabawi dan perguruan tinggi yang dinamakan al Jami’ah al Islamiyyah dalam kitabnya yang dinamakan al Majmu’ al Mufid min Aqidah at Tauhid, hal 55, dia berkata: “Wahai umat Islam tidak bermanfaat Islam kalian, kecuali jika kalian terang-terangan memerangi tarekat-tarekat shufiyyah dan menghabisinya, perangilah mereka sebelum kalian memerangi Yahudi dan Majusi.”

Orang–orang Wahabi mengkafirkan penduduk semua negara-negara Islam dan ulama–ulamanya sebagaimana tersebut dalam kitab mereka yang dinamakan Fath al Majid mereka mengatakan dalam kitab tersebut pada hal. 190: “Khususnya telah diketahui bahwa kebanyakan ulama–ulama di daerah–daerah tidak mengetahui tentang tauhid kecuali yang di tetapkan oleh orang–orang musyrik saja.”
Kemudian penulis buku itu berkata: “Penduduk Mesir semuanya kafir karena mereka menyembah Ahmad al Badawi, juga penduduk Irak dan sekitarnya seperti Omman, mereka semua kafir karena mereka menyembah al Jilani, dan penduduk Syam semuanya kafir, mereka menyembah Ibnu Arabi dan begitu juga dengan penduduk Yaman, Najd dan Hijaz.”  Dan di dalam kitab mereka yang dinamakan I’shar at-Tauhid karya Nabil Muhammad mereka mengkafirkan para kaum sufi dan ahli tarekat dan semua penduduk negara–negara Islam seperti Mesir, Libya, Maroko, India, Persia, Asia Barat, negara–negara di dataran Syam, Nigeria, Turki, negara-negara di wilayah Romawi, Afganistan, negara–negaraTurkistan di China, Sudan, Tunisia, al Jazair.

Akidah Ulama Ahlussunnah; Allah Ada Tanpa Tempat

al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi, dalam  al-Farqu Bayna al-Firaq, menyatakan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallaahu wajhah berkata: “Allah itu ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah sekarang seperti keberadaan-Nya sebelum adanya tempat.”  Dalam mentauhidkan Allah dan menyucikan-Nya dari benda, tempat, arah, bergerak dan diam, Imam Abu al fadl at-Tamimi al Hanbali dalam kitab I’tiqad al Imam Ahmad hal. 38, dari Imam Ahmad bahwa beliau berkata: “Allah tidak berubah dan tidak mengalami pergantian, tidak diliputi oleh batasan sebelum menciptakan ‘Arsy, dan Imam Ahmad mengingkari orang yang mengatakan bahwa Allah dengan dzat-Nya berada di semua tempat, karena tempat-tempat itu ada batasannya.”

 Keyakinan bahwa wujudnya Allah tanpa tempat dan arah, adalah kesepakatan Ahlussunnah Wal-Jama’ah sejak generasi salaf yang saleh. Al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi berkata dalam al-‘Aqidah al-Thahawiyyah: Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, sehingga Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti tangan, wajah dan anggota badan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya), Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang), tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah.


Penulis:Ustadz Yusuf Suharto, Ketua Aswaja NU Center Jombang

Publisher: M. Ali Ridho