(Sumber: fiqihmenjawab.net)
(Sumber: fiqihmenjawab.net)i

Oleh: Ustadz Yusuf Suharto*

Pertanyaan:

Assalamualaikm. Saya mendengar dan melihat ada orang yang shalat kafarat di Jumat terakhir Ramadan, saya kok belum pernah lihat ada jenis shalat begitu. Ustadz, bagaimanakah sebenarnya hukumnya?

Hamdan, Jakarta

Jawaban:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Wa’alaikumsalam Mas Hamdan. Membicarakan shalat kafarat pastinya tak lepas dari sabda Nabi Muhammad yang berbunyi sebagai berikut:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من فاتة صلاة فى عمرة ولم يحصها فليقم فى اخر جمعة من رمضان ويصلى اربع ركعات بتشهد واحد يقرا فى كل ركعة فاتحة الكتاب وسورة القدر خمسة عشر مرة وسورة الكوثر خمسة عشر مرة

Nabi Muhammad bersabda, “Barang siapa yang selama hidupnya pernah meninggalkan shalat tetapi tak dapat menghitung jumlahnya, maka shalatlah di hari Jum’at terakhir bulan Ramadhan sebanyak 4 rakaat dengan 1 kali tasyahud, dan setiap rakaat membaca 1 kali surat al Fatihah kemudian surat al Qadar 15 kali dan surat al Kautsar 15 kali.”

Selain itu terdapat redaksi lain dari perkataan Khalifah Abu Bakar as Sidiq yang berbunyi sebagai berikut:

قال ابو بكر سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول هذة الصلاة كفارة اربعمائة سنة حتى قال على كرم الله وجهه هي كفارة الف سنة قالوا يا رسول الله صلى الله عليه وسلم ابن ادم يعيش ستين سنة او مائة سنة فلمن تكون الصلاة الزائدة قال تكون لإبوية و زوجتة و لإولادة فأقاربة و اهل البلد.

Khalifah Abu Bakar as Sidiq berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah SAW, beliau bersabda shalat tersebut sebagai kafarat (pengganti) shalat 400 tahun. Dan menurut Sayidina Ali ibn Abi Thalib shalat tersebut sebagai kafarat 1000 tahun. Maka bertanyalah para sahabat: “Umur manusia itu hanya 60 tahun atau 100 tahun, lalu untuk siapa kelebihannya?”. Rasulullah SAW menjawab, “Untuk kedua orang tuanya, untuk istrinya, untuk anaknya dan untuk sanak familinya serta orang-orang dilingkungannya.”

Hadis di atas ternyata adalah hadis maudhu’, yakni sebuah hadis yang disandarkan pada Nabi dengan kebohongan dan sebenarnya tidak ada keterkaitan sanad dengan Nabi. Selain itu pada hakikatnya itu bukanlah hadis. Hanya saja penyebutannya sebagai hadis memandang anggapan dari perawinya.

Ketika amalan ibadah bersumber dari hadis maudhu’, maka menurut para ulama hukumnya tidak boleh mengerjakan amalan tersebut. Berbeda ketika amalan yang bersumber dari hadis dha’if (lemah) maka masih diperbolehkan mengamalkan hanya sebatas fadhailul amal (keutamaan-keutamaan amal). Dalam kitab al Adzkar karya al Imam Nawawi hal 14 dikatakan, sebagai berikut:

“Sebaiknya seseorang yang mengetahui keutamaan-keutamaan amal (fadhoilul amal) melakukan hal tersebut walaupun hanya sekali saja agar termasuk dikatakan golongan amal tersebut. Dan tidak dianjurkan untuk meninggalkan amal tersebut, akan tetapi berusaha melakukan dengan semampunya, karena berdasarkan hadis Nabi SAW.”

Menurut golongan ulama hadis, ahli fikih dan ulama lainnya mengatakan: “Boleh dan disunnahkan melakukan amal yang bersumber dari hadis dhoif selama bukan hadis maudhu’ (hadis palsu).”

Menurut penuturan Gus Ma’ruf Khozin ketika menanyakan ini kepada Habib Abu Bakar as Segaf bahwa shalat ini bukan shalat Kafarat, namun shalat Qadla’. Ini adalah amalan Sayid Syaikh Abu Bakar bin Salim yang dimakamkan di ‘Inat, daerah Hadlramaut Yaman. Beliau adalah pembesar wali dan sayyid di masanya. Namun shalat tersebut tidak boleh diniati sebagai pengganti shalat selama setahun, sebagaimana yang diharamkan oleh ulama Fikih. Para Sayyid (Habaib) hanya mengamalkannya dan menjadikannya sebagai kebiasaan di akhir Jumat bulan Ramadan karena untuk mengikuti beliau. Mereka menyesuaikan niat mereka dengan niat Sayyid Abu Bakar bin Salim yang bergelar Fakhr al-Wujud.

Pengarang kitab Sullamut Taufiq, Habib Husain bin Thahir ditanya oleh penduduk Hadlramaut tentang hal ini, beliau menjawab: “Kita taslim (menerima) terhadap amalan wali Allah. Dan kita niatkan seperti niat Sayyid Abu Bakar bin Salim. Tetapi para Habaib melarang mengajak orang-orang melakukan shalat ini di masjid, misalnya. Beliau-beliau mengamalkannya bersama keluarga di kediaman masing-masing. Khawatir ada kejanggalan dari sebagian orang.

Seumpama seperti itu adanya, yakni kemudahan mengqada shalat yang ditinggalkan dalam waktu yang lama cukup ditebus (kafarat) hanya dengan shalat sekali dalam setahun, maka dikhawatirkan yang akan terjadi kebanyakan orang islam dengan mudahnya meninggalkan kewajiban shalat 5 waktu setiap hari dengan alasan nanti cukup melakukan shalat kafarat saja. Syariat sudah mengajarkan bahwa apabila seseorang meninggalkan shalatnya baik itu disengaja ataupun tidak, maka dia berkewajiban mengganti (qada) dengan shalat di lain waktu sejumlah shalat yang ditinggalkannya.

Penjelasan Tentang Menggadla’ Shalat

Dari Anas bin Malik Rasulullah SAW bersabda,“Barang siapa yang lupa (melaksanakan) suatu sholat atau tertidur dari (melaksanakan)nya, maka kafaratnya (tebusannya) adalah melakukannya (mengqadha)  jika dia telah ingat.” (HR. Bukhori Muslim).

Dalam keterangan yang lain dijelaskan dalam kitab al Fikih alaa Madzaahib al Arba’ah karya Syaikh Abdurrahman al Jaziri juz 1 halaman 775 sebagai berikut:

“Hukum mengqadha shalat fardhu menurut kesepakatan tiga madzhab (ulama Hanafi, Maliki dan Hanbali) adalah wajib dan harus dikerjakan sesegera mungkin baik shalat yang ditinggalkan sebab adanya udzur (halangan) atau tidak. Sedangkan menurut ulama madzhab Syafi’i qada shalat hukumnya wajib dan harus dikerjakan sesegera mungkin bila shalat yang ditinggalkan tanpa adanya udzur dan bila karena udzur, qada shalatnya tidak diharuskan dilakukan sesegera mungkin.

Dalam hal ini dijelaskan dalam kitab Majmu’ syarh al Muhadzab fi fikih as Syafi’i karya al Imam Nawawi sebagai berikut: “Orang yang wajib atasnya shalat namun melewatkannya, maka wajib atasnya untuk mengqadha’nya, baik terlewat karena udzur atau tanpa udzur. Bila terlewatnya karena udzur boleh mengqadha’nya dengan ditunda namun bila dipercepat hukumnya mustahab”.

Namun ada pendapat yang bisa dibilang menyendiri atau nyleneh yang diutarakan oleh Ibnu Hazm ad Dhahiri. Ibn Hazm berpendapat bahwa tak ada keharusan qada bagi orang yang tidak mengerjakan shalat dengan sengaja, tapi tak bisa terhindar dari dosa. Ungkapan itu disampaikan dalam kitabnya berjudul al Muhalla bi Atsar yang berbunyi: “ Orang yang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar dari waktunya, aka tidak dihitung qadanya selamanya. Maka ia memberbanyak amal kebaikan dan shalat sunnah untuk meringankan timbangan amal buruknya di hari kiamat, lalu dia bertaubat dan meminta ampun kepada Allah SWT.

Lalu, bagaimana kalau terlalu banyak meninggalkan shalat?

Tak ada ulama yang mengatakan jika seorang muslim tak meninggalkan shalat tidak diwajibkan qada, meskipun terlalu banyak jumlahnya. Sedikit atau banyak wajib qada. Ibn Qudamah dalam kitab al Mughni jilid 1 halaman 435 malah mengatakan bahwa harus menyibukkan diri mangqada shalat jika terlalu banyak tertinggal selama tidak menjadi masyaqqah atau kesusahan pada tubuh atau hartanya.

Bahkan Ibn Taimiyah pun mewajibkan qada shalat meski terlalu banyak. Ibn Taimiyah mengatakan dalam kitab selama tidak memberatkan dirinya, hartanya, dan keluarganya tetap diwajibkan mengqada shalat yang ditinggalka. Logikanya, jika hutang sedikit harus dibayar, apa hutang banyak malah tidak dibayar? Misalkan hutang 100 ribu harus dibayar, apakah mungkin hutang 1 juta tidak wajib dibayar?

Untuk itu, yang masih punya hutang shalat agar segera diqada lalu bertobat dan mohon ampun kepada Allah atas kelalaian dalam melakanakan perintah-Nya. Semoga artikel ini bermanfaat. Wallau A’lam.


*Ketua Aswaja NU Center Jombang