Sumber Ilustrasi: favim.com

Oleh: Khoshshol Fairuz*

; cinta bisa saja tumbuh bahkan meski tanpa percakapan

Aku belum pernah mengenal pria sepertimu. Pria cungkring dengan wajah sangat pas-pasan. Hanya aku suka alismu, Sal atau karena kamu satu-satunya yang terlihat paling tawadhu di mataku, atau entahlah sepertinya aku salah jatuh cinta, padahal banyak sekali pria dengan label tak hanya santri biasa sepertimu yang melamar aku (lewat bapak). Tak jarang pula Ustad Zakaria memuji sepasang pipiku seusai diniyyah dengan sebutan “khumaira”, meniru gombalan Muhammad kepada Aisyahnya. Ah, jika saja saat itu ia tak memiliki istri yang tengah hamil tua, aku rela dikhitbah, menjadi yang kedua pun tak apa, untuk melupakanmu.

***

“Maaf Ning, pak kiai sudah naik mimbar. Ngaji sorogannya mau dimulai, nuwun sewu bicaranya jangan keras-keras.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kalimat itu yang pertama kali kudengar darimu, dari seorang santri yang menegur anak kiainya. Sebutan Ning memang tradisi khas untuk kalangan pesantren menyebut putri seorang kiai. Jika laki-laki disebut Gus.

“Kalau aku tak mau bagaimana?,” jawabku ketus dengan nada menantang.

Kamu terdiam beberapa saat, masih merunduk sejak awal. Alismu terangkat dua kali, membentuk lipatan kulit di jidat yang berlapis-lapis, mungkin saat itu kamu sedang memikirkan sesuatu. Tanpa ada jawaban pasti, kamu berjongkok, aku ingin melihatmu memohon dan mengerti kebiasaan kaum hawa ketika berkumpul, tapi tidak. Kamu membelakangiku dan berjalan dengan kaki yang ditekuk itu menuju mushala. Tanpa melihat.

“Aneh,” desisku tak mengerti. Pergimu justru meninggalkan rasa penasaran yang mendalam. Tapi aku tak peduli, kuteruskan obrolan kami yang sempat jeda beberapa detik karenamu. Ngaji sorogan selesai, bapak yang duduk di beranda rumah memanggilku.

“Zul, kamu sudah berani menentang bapak, hm?”

“Tidak pak, apa yang Zulfa tentang? Zulfa manut-manut saja kalau disuruh menikah setelah selasai Aliyah.

Bapak menatap serius wajahku yang penuh pembelaan, “Tadi pagi ketika bapak ngaji, suaramu terdengar sampai dalam mushala. Suara perempuan itu aurat, Zul. Dan lagi, ketika sudah diingatkan, ya nurut!”

Oh, aku mengerti. Santri tadi pagi yang menghadapku adalah suruhan bapak, tapi aku punya pembelaan lain, “Bukan salah Zul lah, kenapa dia tak bilang kalau disuruh bapak. Kalau dari awal dia bilang, Zul pasti nu ….”

“Meskipun tak bilang dari bapak, kalau kau punya iman. Kau akan tahu itu perintah Allah!” Jawab Bapak gemetar, tubuhnya bersandar di kursi bambu. Beberapa kali terdengar lirih suara istighfar mengiringi nafasnya yang tersengal. Bapak lupa kalau aku putrinya sedangkan dia hanya seorang santri.

Pembelaan yang demikian besar untuk ukuran seseorang yang bukan keluarganya ini menimbulkan tanda tanya besar. Mulai dari kejadian itu, diam-diam aku mengadakan penelitian tentangmu, semuanya. Saat itu aku tak mengerti, tidak ada di dalam dirimu yang bisa dibanggakan. Berasal dari keluarga petani miskin, MTs yang belum sempat tamat, prestasi ngaji pun biasa, justru terkesan bodoh. Baiklah, aku tutup kasus ini. Tidak ada yang perlu diingat lagi.

Bagaimana alisnya?

Ya, alismu hitam, menyimpan kedalaman dan tebal, mungkin akan menipis kalau bertemu dengan perempuan. Aku terkikik melihat cermin yang bisa bercakap, menyeka air sisa wudlu yang akan kupakai tahajud. Aku bahkan masih mengingatmu saat kucoba mengingat Allah.

Saat itu aku masih tak mengerti, jatuh cinta adalah ketika ada dua hati yang secara bersama-sama mendekat kepadaNya.

***

Selain ahli ngerumpi, aku juga suka nguping setiap Bapak menghadapi tamu. Tapi kali ini bukan tamu yang bertandang seperti biasa untuk menanyakan soal agama, tapi seorang santri.

“Nak Faisal, kau tahu tanah pekarangan di belakang rumah Haji Imron?”

“Nggih, Yai. Saya tahu.”

“Nah, kebetulan Pak Haji baru saja dari sini, dia bilang akan mewakafkan separuh untuk pesantren. Enaknya ditanami apa ya?”

“Saya nurut Pak Kiai,”

Jawabmu dengan (mungkin) mengaitkan telapak tangan di atas lutut yang ditekuk mirip duduk tawaruk itu. Khas santri dan aku pernah melihatmu demikian saat pertama kita bertemu.

“Begini saja, nanti ku beri kau waktu sehari. Pulang dan bawa apa saja yang bisa ditanam di sini, salam untuk bapak-ibumu di rumah, ya?”

“Nggih.”

Suaramu hilang, menyisakan sebaris nama yang kelak akan ku ingat sampai kapanpun, Faisal.

***

Mendengar suaramu saja adalah sesuatu yang jarang, apalagi melihat. Tapi aku mengenal betul kamu dari obrolan bapak kepada ibu, santri putra kepada penghuni dapur, dari penjaga gerbang kepada bibi, aku bahkan tahu kalau kamu punya tahi lalat di leher sebelah kanan (tentu saja aku tak pernah melihatnya, ini masih katanya).

“Kang Faisal tadi pagi disuruh Pak Kiai memanggul bambu-bambu buat pagar tanaman kacang di pekarangan. Karena licin, ia terpeleset, pinggiran bambu yang belum halus itu menyayat lehernya, tepat di tahi lalatnya,” ucap salah seorang santri dapur. Aku pura-pura tak peduli, dari balik pintu aku duduk menyilang, membuka kitab-kitab.

“Hmm, kasian yah? Padahal dia yang paling manut untuk urusan yang begitu. Kalau dia sampai terluka parah, siapa yang bisa merawat kacang. Kalo Kang Ibnu yang pergi ke sana, bukannya berkebun, malah godain santri putri,” yang lain ikut menimpali.

Bagitulah Sal, caraku mengenalmu. Aku lebih banyak mendengar tentang kamu mulai dari yang baik-baik sampai yang super baik, atau kamu memang terlahir dari rahim malaikat, entahlah, malaikat tidak pernah hamil kan? Atau justru dirimulah malaikat itu. Aku tak tahu persis kapan perlahan-lahan hatiku diketuk, yang aku tahu persis adalah ketika aku dengan sukarela membukanya, saat demikian seringnya telingaku mencerna namamu, ia seperti syaraf-syaraf tak kasat mata yang mengirimkan beribu alasan untuk menerimamu dalam ingatan. Aku bahkan lebih berani untuk sedikit membuka gorden ungu di sudut kamar yang mengarah kepada jalan kecil belakang pesantren. Dari sana aku bisa lebih leluasa melihat langkahmu, lihat … kau masih tertunduk ketika berpapasan dengan santri perempuan dan bapak.

Bapak terlihat senang mengajakmu berbincang dan melaporkan perkembangan kebun kacang kita, eh, kebun kacang pesantren. Dari sini tampak jelas sekali dengan pakaian lusuh, kau terlihat lelah, punggungmu basah, wajah bapak sumringah, tapi tidak saat ia menatap ke arah jendela ini. Astaga… bapak melihatku di balik jendela! Cepat-cepat aku menutup rapat gorden, bersimpuh memegangi lutut yang gemetar.

”Zulfa, turun Nduk. Bapak mau bicara sebentar.”

Aku yang saat itu sudah bisa menebak arah perintah bapak, mencoba menertibkan irama nafas, degup-degup yang saling mendebar ini semakin menambah suasana mencekam saja. Gara-gara kamu, Sal! Kalau kamu bisa mendengarnya, kamu mungkin akan menjawab, “Kok aku?”

Aku bersimpuh di depan bapak, tak berani menatap matanya.

“Darimana kamu?”

“Dari kamar, belajar Nahwul Wadhih.

Bapak meletakan amplop di meja.

“Pergi ke warung depan, belikan bapak rokok dan sabun cuci satu renteng. Itu uangnya.”

Bapak memang perokok, beliau bisa menghabiskan sebungkus kretek berbungkus warna hijau muda dalam waktu sehari. Dan sabun cuci, untuk apa? Bukankah baju-baju Bapak sudah dicuci Ibu? Setahuku beliau tidak bisa mencuci. Entah, dari pada mempertanyakan hal yang sukar jawabannya, lebih baik segera melaksanakan titahnya.

“Ini Pak, uang kembaliannya juga ada di dalam,” kataku sekembalinya dari warung. Melangkah ke arah kamar.

“Zul, sebentar.”

Langkahku tercekat, menoleh sedikit ke arah suara bapak.

“Di belakang sana, di sebelah keranjang baju kotor itu ada selembar lap lusuh dan kotor. Besok bapak mau pakai untuk mengelap sepeda onta. Kamu cuci sampai bersih ya! Jangan lupa keringkan di mesin cuci.”

Aku menurut, dari pada bapak menanyakan perbuatan mengintipku tadi. Segera ku ambil ember kecil, hanya selembar lap yang mirip baju, cukuplah satu sachet. Lap itu memang kotor sekali, warnanya sudah memudar, ditambah lagi dengan noda-noda seperti bekas tanah di sana-sini, aku memutuskan untuk tidak merendam terlalu lama, kukucek sebentar, membilas dan langsung memasukkannya ke dalam mesin cuci. Sepuluh menit kemudian aku menyuruh santri dapur mengangkat lap itu untuk dijemur. Tugasku selesai.

Seusai shalat ashar, pukul lima

Bapak sedang duduk santai menikmati sepasang cangkir teh melati bersama Ibu. Terdengar suara perempuan memanggil dari kejauhan,

“Zulfa, kamu lagi apa Nduk?”

“Ganti baju, Bu.”

“Kesini dulu,” giliran bapak menambahkan.

Sambil membenarkan posisi ujung jilbabku agar simetris, aku menghampiri kedua orangtuaku.

“Masya Allah cantiknya anak Ibu, sudah seperti perawan saja,” seloroh Ibu dengan tersenyum. Ibu memang senang memuji penampilan anak-anak dan suaminya. Makanya ia tampak lebih muda dari usianya.

“Tolong ambilkan lap yang tadi kamu cuci ya? Sudah sore, takut hujan.”

Kakiku beranjak mengambil lap yang dijemur di halaman belakang. Kini lebih mirip baju dari pada disebut lap, saat kukebaskan mengikuti arah angin, aku baru sadar sesuatu, di kerah bagian kanannya terdapat bekas noda kemerahan, darah?

Kepalaku tidak asing dengan peristiwa yang terekam jelas, meski berasal dari ocehan santri dapur tadi siang. Kugulung membulat, membawanya kepada bapak. Dan aku ingin menanyakan sesuatu, sungguh!

Belum sempat aku menyerahkan lap baju kepada bapak, tiba-tiba ….

“Assalamualaikum.” Aku kenal suara itu.

Serentak kami menjawab, “Waalaikumsalam.”

Bapak meneruskan sendiri, “Mari masuk Nak Faisal.”

Aku berdiri, mematungkan diri. Kamu masuk, tersenyum kepada bapak, dan menatapku, kemudian menunduk. Bapak yang menyadari keganjilan sikapku langsung berkata, “Ayo Zul, kamu ke dalam dan setrika lap itu, yang punya sudah datang.”

Apa? Yang punya hatiku? Aku sangat ingin tersenyum Sal, untukmu. Tapi tidak, aku akan ke dalam saja, menyetrika bajumu yang disebut lap oleh bapak, dan menyemprot parfum sampai menjadi wangi, sewangi-wanginya. Insya Allah.

***

Satu tahun setelah kejadian maha romantis itu, bapak tahu aku menyukaimu, aku juga tahu bapak menyukaimu

Kabar itu datang bersama pamanmu dari desa, ibumu meninggal dan menitipi pesan, supaya menikahkanmu di depan jasadnya. Menikah? Dengan siapa? Aku? Aku tak bisa tanpa Bapak. Sementara Bapak terlihat amat gelisah ketika pamanmu menyebutkan nama gadis. Bukan, bukan Zulfa Uzlifatil Jannah, bukan aku. Aku menangis sejadi-jadinya di dinding pembatas ruang tamu, kau pun terdengar kehilangan suara.

Bapak akan kehilangan santri yang paling dicintainya, aku mungkin akan kehilangan nafasku. Kamu membawa seluruh baju dan kitab-kitab kuning dalam kardus besar. Langkahmu terhenti saat aku memanggil, tepat di gerbang masuk pesantren. Sekali lagi aku ingin menatapmu selekat-lekatnya, dari dalam hatiku aku ingin bertanya, “Kang Faisal, sampean mau kemana?” Tapi tercekat di tenggorokan, hanya menimbulkan deru yang melelehkan bendungan di pelupuk mata. Kamu menatapku, aku melihat alismu untuk pertama kali bisa berbicara, “Aku juga mencintaimu.”


*Cerpenis Muda STIT Urwatul Wustho (UW) dan Jurnalis Tebuireng Online