logo-resmi-nahdlatul-ulama-nuPertanyaan: Assalamu’alaikum wr. wb Pak ustadz, saya masih bingung mengenai makna masalah Ahlussunnah wal jama’ah. Apa makna sebenarnya Ahlussunnah wal Jama’ah tersendiri dan bagaimana kriterianya? Dan maaf ustadz, saya sering mendengar banyak dari organisasi Islam banyak yang mengakui bahwa mereka termasuk golongan Ahlussunnah wal Jama’ah. Terima kasih ustadz.   Kamalia, Madiun.    Lanjutan jawaban: Wa’alaikum salam wr. wb. Terima kasih atas pertanyaannya. Semoga Allah selalu memberikan limpahan hidayah dan rahmat-Nya. Adapun penjelasannya sebagai berikut:  

Dari Aswaja, Wali Songo, dan Nahdlatul Ulama  Dihimpun Yusuf Suharto (Ketua Aswaja NU Center Jombang) 

Nahdlatul Ulama

Pembentukan Jam’iyah Nahdlatul Ulama dilatarbelakangai oleh dua faktor dominan. Pertama, adanya kekhawatiran dari sebagian umat Islam yang berbasis pesanten terhadap gerakan kaum modernis yang meminggirkan mereka. Kedua, sebagai respon ulama-ulama berbasis pesantren terhadap pertarungan ideologis yang terjadi di dunia Islam pasca penghapusan kekhilafahan Turki, munculnya gagasan Pan-Islamisme yang dipelopori oleh Jamaluddin Al Afghani dan gerakan kaum Wahabi di Hijaz. Gerakan kaum reformis yang mengusung isu-isu pembaruan dan purifikasi itu membuat ulama-ulama yang berbasis pesantren melakukan konsolidasi untuk melindungi dan memelihara nilai-nilai tradisonal yang telah menjadi karakteristik kehidupan mereka. Gerakan ulama yang berbasis pesantren semakin kental dan nyata terlihat mulai terbentuknya organisasi pendidikan dan dakwah, seperti Nahdlatul Wathan dan Tashwirul Afkar. Puncaknya adalah munculnya Komite Hijaz.

Titik puncak dari kegelisahan tersebut kemudian melahirkan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926 M) di Surabaya oleh beberapa ulama terkemuka yang kebanyakan adalah pemimpin/pengasuh pesantren. Tujuan didirikannya adalah berlakunya ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja); menganut salah satu mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), baik secara qauli maupu secara manhaji  dalam bidang fiqh; dan mengikuti Imam al Junaid al Baghdadi (w. 297 H.) dan Abu Hamid al Ghazali  (450-505 H./1058-1111 M.) dalam bidang tasawuf .

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Bagaimana pendiri NU menangkap realitas keaswajaan? Hadratusysyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (1287-1336 H./1871-1947 M.) menyebutkan dalam kitabnya Ziyadat Ta’liqat:23-24) tentang realitas Ahlussunnah di Nusantara (baca: Jawa) sebagai berikut:

أهل أما السنة فهم أهل التفسير والحديث والفقه فإنهم المهتدون المتمسكون بسنة النبي صلى الله عليه وسلم والخلفآء بعده الراشدين وهم الطائفة الناجية قالوا وقد اجتمعت اليوم في مذاهب أربعة الحنفيون والشافعيون والمالكيون والحنبليون.

Adapun Ahlussunah Wal Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fikih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi SAW dan atsar Khulafaur Rasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu pengikut Madzhab hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali”.

Hadratusysyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari menambahkan:

وقد كان مسلموا الأقطار الجاوية في الأزمان السالفة الخالية متقي الأراء والمذهب ومتخذ المأخذ والمشرب¸فهم في الفقه على المذهب النفيس مذهب الإمام هحمد بن إدريس, وفي أصول الدين على مذهب الإمام أبي الحسن الأشعري, وفي التصوف عيى مذهب الإمام الغزالي والإمام الشاذلي رضي الله عنهم أجمعين.

Umat Islam penduduk tanah Jawa telah sepakat sejak dulu tentang pandangan keagamaan dan sumber rujukannya. Dalam bidang fikih mengikuti mazhab Muhammad bin Idris asy Syafi’i, di bidang ushuluddin (teologi) berpegang pada madzhab Imam Abi al Hasan al Asy’ari dan dalam bidang Tashawwuf mengikuti madzhab Imam al Ghazali dan asy Syadzili”.

Ini berarti NU adalah organisasi keagamaan yang secara formal membela dan mempertahankan Aswaja, dengan disertai batasan yang fleksibel. Sebagai organisasi sosial keagamaan (al Jam’iyah al Diniyah wa al Ijtima’iyah), NU merupakan bagian integral dari wacana pemikiran Suni. Terlebih lagi, jika kita telusuri lebih jauh, bahwa penggagas berdirinya NU memiliki pertautan sangat erat dengan para ulama “Haramain” (Makkah-Madinah) pada masa di bawah kekuasaan Turki Usmani yang ketika itu berhaluan Aswaja.

Nahdlatul Ulama sudah memiliki paham dan tradisi yang terbukti mampu menjadi perekat bangsa ini, yaitu paham Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Aswaja merupakan paham yang mengutamakan kemaslahatan yang lebih luas dalam menyelesaikan berbagai persoalan umat. Dalam perjalanan sejarah, Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah mempraktikkan prinsip-prinsip syura (musyawarah), tawassuthiy (pola pikir moderat), ishlahiy (reformatif), tathowwuri (dinamis), dan manhaji (metodologis) yang senantiasa bersikap tawazun (seimbang), tasamuh (toleran), ‘adalah (adil), musawah (egaliter), dan hikmah (bijaksana).

Prinsip-prinsip tersebut berdampak pada sikap-sikap positif yang dilakukan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah dalam menyikapi berbagai persoalan. Karena itu, sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia belum pernah ada rongrongan yang mengancam NKRI atau ideologi negara yang berasal dari kalangan yang menganut paham Aswaja. Aswaja lebih menekankan harmonitas kehidupan umat manusia dan stabilitas politik. Masih segar dalam ingatan bagaimana kelompok Islam yang di dalamnya terdapat KH. Wahid Hasyim bisa menerima penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta atas pertimbangan NKRI.

Dari pengalaman sejarah dan perjalanan bangsa ini tidak ada pilihan lain bagi umat Islam Indonesia kecuali menolak setiap paham yang berpotensi menganggu stabilitas politik dan keutuhan NKRI. Sebaliknya paham Aswaja harus disosialisikan dan ditransformasikan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara demi kemaslahatan seluruh umat manusia, khususnya penghuni bumi Indonesia.

Karakter Aswaja NU Menurut Kiai Ahmad Shiddiq

Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH. Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut:

1.      Akidah.

a.   Keseimbangan dalam penggunaan dalil ‘aqli dan dalil naqli.

b.   Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.

c.   Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid’ah apalagi kafir.

2.      Syari’ah

a.   Berpegang teguh pada Al Quran dan Hadis dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah.

b.   Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang jelas (sharih/qoth’i).

c.   Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni).

3.      Tasawuf/Akhlak

a.   Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam. b.   Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.

c.       Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu’ (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).

4.      Pergaulan Antar golongan

a.   Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing.

b.   Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.

c.   Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.

d.   Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.

5.      Kehidupan bernegara

a.   NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.

b.   Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.

c.   Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.

d.   Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.

6.      Kebudayaan

a.   Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama.

b.   Kebudayaan yang baik dan tidak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.

c.   Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah).

7.      Dakwah

a.   Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.

b.   Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.

c.         Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah. (Lihat Khitthah Nahdliyyah, hal. 40-44)

Khasais Aswaja Menurut NU

Dengan mendasarkan diri pada berbagai dalil dari Al Quran, Hadis,  dan pendapat ulama, sidang komisi Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudliuiyah yang dihadiri para kiai dari PCNU dan PWNU se-Indonesia serta PCINU ini akhirnya menetapkan 14 butir kriteria istimewa. Hasil sidang komisi disahkan pada sidang pleno Muktamar Ke-33 NU, Rabu (5/8). Berikut kutipan selengkapnya:

Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah firqah yang memiliki khashaish (kekhususan) yang membedakan dengan berbagai firqah yang lain di dalam Islam. Khashaish itu merupakan berbagai keistimewaan yang dimiliki oleh berbagai firqah yang lain. Khashaish sebagai keistemewaan itu, antara lain:

  1. Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah merupakan satu-satunya firqah (golongan) di antara berbagai firqah di dalam Islam yang disebut oleh Nabi SAW sebagai firqah ahli surga. Mereka adalah para shahabat Nabi SAW. yang dikenal dengan sebutan As-Salafush Shalih yang senantiasa berpegang teguh pada sunah Nabi. SAW. dan dilanjutkan oleh tabi’in dan tabi’it tabi’in, dua generasi yang memiliki keutamaan sebagaimana dinyatakan oleh Nabi SAW. Kemudian diikuti oleh para pengikutnya sampai sekarang.
  2. Menjadikan Al Quran dan as Sunnah sebagai dua sumber pokok syari’at Islam, dan menerima dua sumber yang lahir dari keduanya, yakni ijma’ dan qiyas.
  3. Memahami syari’at Islam dari sumber al Quran dan as Sunnah melalui:
  • sanad (sandaran) para shahabat Nabi SAW. yang merupakan pelaku dan saksi ahli dalam periwayatan hadits serta manhaj seleksinya, dan berbagai pemikiran yang diimplementasikan dalam pelaksanaan tugas tasyri’ (penetapan hukum syar’i) setelah beliau wafat. Mereka terutama empat shahabat yang disebut oleh Nabi SAW. sebagai Al-Khulafa’ al-Rasyidun telah menyaksikan langsung dan memahami dengan cermat pelaksanaan tasyri’ yang dipraktikkan oleh Nabi SAW.
  • sanad dua generasi setelah shahabat, yakni tabi’in dan tabi’it tabi’in yang telah meneladani dalam melanjutkan tugas tasyri’. Mereka telah mengembangkan perumusan secara kongkrit mengenai prinsip-prinsip yang bersifat umum, kaidah-kaidah ushuliyyah dan lainnya. Mereka adalah para Imam mujtahid, Imam hadits dan lainnya.

4. Memahami Al Quran dan as Sunnah secara menyeluruh berdasarkan kaidah-kaidah yang teruji ketepatannya, dan tidak terjadi mu’aradlah (pertentangan) antara satu nash dan nash yang lain. Dalam hal, diakui dan diterima:

  • empat Imam mujtahid termasyhur sekaligus Imam madzhab fikih dari kalangan tabi’in dan tabi’it tabi’in yang telah merumuskan kaidah-kaidah ushuliyyah dan menerapkannya dalam melaksanakan tasyri’ yang kemudian menjadi pedoman bagi generasi berikutnya sampai sekarang. Empat mujtahid besar itu; a. Imam Abu Hanifah An-Nu’man ibn Tsabit (80-150 H.), b. Imam Malik ibn Anas (93-173 H.), c. Imam Muhammad ibn Idris Asy-Syafi’i (150-204 H.), dan Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H.).
  • para Imam madzhab akidah, seperti Abul Hasan Al-Asy’ari (260-324), dan Abu Mansur Al-Maturidi (W.333 H.).
  • keberadaan tasawuf sebagai ilmu yang mengajarkan teori taqarrub (pendekatan) kepada Allah SWT. melalui aurad dan dzikir yang diwadahi dalam thariqah sebagai madzhab, selama sesuai dengan syari’at Islam. Dalam hal ini menerima para Imam tasawuf, seperti Imam Abul Qasim Al-Junaid al-Baghdadi (W.297H.) dan Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H.).

5. Melaksanakan syari’at Islam secara kaffah (komprehensif), dan tidak mengabaikan sebagian yang lain.

6. Memahami dan mengamalkan syari’at Islam secara tawassuth (moderat), dan tidak ifrath dan tafrith.

7. Menghormati perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah, dan tidak mengklaim bahwa hanya pendapatnya yang benar, sedangkan pendapat lain dianggap salah. 8. Bersatu dan tolong menolong dalam berpegang teguh pada syari’at Islam meskipun dengan cara masing-masing.

9. Melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dengan hikmah (bijak/arif), dan tanpa tindak kekerasan dan paksaan.

10. Mengakui keadilan dan keutamaan para shahabat, serta menghormatinya, dan menolak keras menghina, mencerca dan sebagainya terhadap mereka, apalagi menuduh kafir.

11. Tidak menganggap siapa pun setelah Nabi adalah ma’shum (terjaga) dari kesalahan dan dosa.

12. Tidak menuduh kafir terhadap sesama mukmin, dan menghindari berbagai hal yang dapat menimbulkan permusuhan.

13. Menjaga ukhuwwah terhadap sesama mukmin, saling tolong menolong, menyayangi, menghormati, dan tidak saling memusuhi.

14. Menghormati, menghargai, tolong menolong, dan tidak memusuhi pemeluk agama lain.

Penutup

Pada dasarnya setiap muslim berhak menyandang dan menisbatkan diri sebagai bagian dari Ahlussunnah wal Jama’ah, demikian juga organisasi-organisasi kaum muslimin yang ada di penjuru dunia, termasuk Indonesia. Namun pengakuan sebagai bagian dari Ahlussunnah wal Jama’ah itu harus sesuai dengan kaedah umum beraswaja. Pendek kata barangsiapa yang dalam berislamnya itu menggunakan pola bermadzhab yang mu’tabar, maka ia layak dan berhak menjadi bagian keluarga besar Ahlussunnah wal jama’ah; barangsiapa yang dalam akidah mengikuti pola Imam Abul Hasan al-Asyari atau Imam Abu Manshur Al-Maturidi, maka ia adalah Ahlussunnah wal Jama’ah.