Ilustrasi: Mudfar Ma’ruf

Seperti di pesantren-pesantren lain, di pondok Cak Jahlun juga diwajibkan shalat berjamaah di masjid. Semua santri mematuhinya sebab bila melanggar akan terkena sanksi. Suatu saat menjelang shalat ashar Cak Jahlun sudah siap-siap di masjid. Adzan-pun dikumandangkan. Setelah adzan, muadzin membaca dzikir sambil menunggu santri yang masih shalat qabliyah ashar, sekaligus menunggu Kiai Sepuh yang kebetulan sedang ada tamu. Lama menunggu membuat Cak Jahlun kebelet pipis. Tiga puluh menit berlalu, para tamu sudah keluar dari ndalem kasepuhan. Cak Jahlun bermaksud membuang hajatnya, namun ia mengurungkannya sebab Kiai Sepuh sudah tiba di masjid. Iqamah-pun di kumandangkan. Semua santri berdiri.

Pada saat shalat berlangsung, kebelet pipis Cak Jahlun semakin menjadi. Dengan segenap usaha ia menahannya. Menundukkan muka, mengernyitkan dahi, menggigit bibir ia lakukan agar ia bisa menahan hajatnya tersebut. Kalau dilihat sepintas mungkin orang yang melihat Cak Jahlun sedang shalat pasti akan mengira kalau Cak Jahlun sedang khusyu’. Akhirnya shalatpun sampai pada rakaat terakhir. Cak Jahlun agak lega sebab sebentar lagi ia bisa menumpahkan hasratnya. Sampailah shalat mereka pada sujud terakhir, Kiai Sepuh seperti biasa memperlama sujudnya tersebut. Namun Cak Jahlun yang sudah sejak tadi menahan kencing sudah tidak kuat. Namun Kiai Sepuh tidak juga menyudahi sujudnya. Akhirnya pertahanan Cak Jahlun mulai kendor dan “Srrrrrrr”, air seninya keluar tanpa permisi menjebol pertahanannya. Masjid banjir jamaahpun kocar-kacir. [F@R]

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online