Oleh : Muhammad Tajuddin*

Datanglah seberkas cahaya dari seseorang yang telah menyelamatkanku dari terpaan musibah. Sudah sirna kegelapan yang membelenggu perasaanku selama 5 tahun itu. Aku merasa terus dihinggapi perasaan kalut, aku menjadi seseorang yang sangat bodoh dan zalim terhadap makhluk ciptaan Ilahi Rabbi. Aku mengingat peristiwa nestapa 10 tahun silam. Peristiwa yang bermula dari kehidupan carut-marut seorang remaja. Kehidupanku yang hampir semua orang di sekitarku membenci atas hina dan durjanya aku sebagai manusia yang masih menginjakkan kaki di bumi Tuhan ini.

“San, pergilah ke rumah Kiai Shobirin!” suara ayah terdengar jelas di telingaku. Mendengar kalimat itu, ibu sudah bisa menebak apa yang sebenarnya tersirat dari ungkapan ayah padaku. Ayah menginginkan aku hidup di pondok pesantren.

“Aku ra pingin pak! aku nggak pingin dadi arek kuno, arek pondokan iku kuno kabeh,” balasku, sekaligus memberikan isyarat ancaman kepada ayah yang aku pikir sok tahu. Ayahku terdiam dan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mencucurkan air mata di pipinya yang masih berwajah manis.

Terdengar suara adzan Ashar, ayahku langsung pergi ke kamarnya mengambil sajadah dan kopiah, lalu ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Setelah mendengar iqomah, ayahku bergegas pergi menuju masjid untuk bersujud kehadapan sang khaliq.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sementara itu, ibuku langsung memelukku dan menangis melihat aku yang akan segera pergi meninggalkan kehidupannya. Melihat ibuku sedih, aku merasa di dunia ini hanya ibuku yang tahu perasaan seorang anak yang selama ini tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah.

“Kamu hati-hati ya di sana. Ibu sama ayah nanti akan selalu menjengukmu, nak.” Ibu menatapku sayu, belaian kasihnya aku rasakan, meneduhkan hati. Dengan hati yang menyayat, aku pun hanya bisa menjawab dengan gelengan kepala. Gelengan yang sudah kuanggap sebagai penghormatan kepada kedua orang tua.

Sehari setelah peristiwa itu, setelah subuh kami lalui, aku berangkat bersama ayah menuju pondok pesantren lama ayah yang katanya sangat bagus dan selalu menjadi pesantren terbaik. Berangkat dengan perahu kecil, kususuri danau yang sangat indah dengan terangnya sinar matahari pagi yang menyejukkan. Tapi semua itu tidak membuat hatiku bahagia. Aku hanya terdiam menatap ayahku yang sedang asyik mendayung-dayung sampai ke tujuan. Setibanya di sana, aku lihat banyak sekali orang yang sedang mengaji kitab di masjid yang kelihatan megah dan cukup luas digunakan santri untuk shalat berjamaah. Ayahku langsung memanggil teman lamanya yang masih nyantri di pondok.

“Salim, kemane aja kau ni? Gimana kabar kau?” tanya ayah.

“Wah kau ni, Ahsan! Aku baik – baiklah. Ini siapa?” tanya balik temannya.

“Ni anakku, Hasan namanya. Ayo nak kenalkan diri kau!” ayah menyuruhku berkenalan dengan temannya.

“Saya Hasan bin Ahsan, pak cik,” kukenalkan diri sebagai penghormatan pada teman ayah.

Setelah perkenalan yang sangat singkat tadi, aku pun langsung diarahkan oleh teman ayah ke sebuah ruangan yang sangat rapi, bersih, penuh dengan kitab-kitab yang sangat tertata rapi. Seseorang menghampiri dengan gaya yang sangat alim, terpintas dalam pikiranku bahwa itu adalah pengasuh pondok ini.

“Oh, Ahsan! Kau dah sampai ternyata, mari sini masuk!” suruh orang tersebut.

“Ada apa kok kesini mendadak sekali?” imbuh lelaki berperawakan alim itu dengan sebuah pertanyaan.

“Begini kiai, saya mau memondokkan anak saya ini. Saya berharap bisa berguna dengan cara memoondokkan anak saya menjadi anak yang alim macam kiai,” jawab ayahku dengan nada lembut. Kiai langsung menerimaku karena alasan ayahku adalah santri teladan yang sangat rajin beribadah dan taat pada aturan yang ada di pondok.

Aku langsung diantarkan ke kamar yang telah ditunjukkan, kamar HA. Kamar ini adalah kamar yang sangat dikagumi oleh seluruh santri. Di sana terpampang foto ayah, saat ketika masih di pesantren dengan memegang berbagai macam penghargaan. Aku pun tak habis pikir kalau ayahku adalah seorang santri yang unggul di pondok ini. Khusunya di bidang dakwah, ayahku adalah juaranya pondok ini. Baru kali ini aku bisa mengagumi kalau ayahku adalah orang yang hebat.

Setelah aku diantarkan ke kamar, aku mencoba menikmati suasana pesantren, dan aku merasakan kedamaian di sini. Aku memutuskan untuk mondok di sini, karena ayah adalah orang yang hebat. Baru kali pertama aku melihat senyum ayah selama hidupku dengan bening matanya juga.

“Terima kasih ya nak, kamu memang anak yang berbakti. Jadilah seperti apa yang kamu harapkan di pondok ini,” kata ayah dengan penuh harap memandangku. Ketika ayah berbicara seperti itu di depanku, aku langsung berpikir dan memutuskan bahwa aku akan meneruskan harapan ayah yang ada di pondok.

“Aku ingin menjadi seorang da’i yang hebat macam ayah,” terangku. Dia lebih terharu ketika mendengar jawaban yang sangat menyentuh hatinya. Setelah shalat dhuhur, ayah langsung pamit pada kiai dan temannya.

“Kiai, Salim, saya titip anak saya. Didik dia agar bisa menjadi da’i yang hebat,” permintaan ayah kepada mereka berdua.

“Baik San, akan aku didik dia menjadi da’i seperti yang kau harapkan,” jawab kiai dengan tegas.

Setelah ayah meninggalkanku sendiri di pondok ini, aku merasa masih ingin berbicara lebih banyak tentang masa kecil ayah dan lain-lain. Sehari setelah perjumpaan akhir dengan ayah, aku langsung belajar mandiri demi cahayaku.

Beberapa bulan setelah aku bisa beradaptasi di pondok, aku bisa membayangkan kalau aku bisa menjadi da’i seperti ayah. Aku mencoba beberapa perlombaan dakwah di sekitar pondok dan ayahku sering menonton ketika tiba penampilanku. Dia terlihat senang, dan ketika aku pulang, ayah selalu menjadi orang pertama menyambutku. Lima tahun berlalu, dan aku telah mampu menjadi santri tulen yang sangat dibanggakan, ini pertama kalinya aku bisa menjadi peserta lomba da’i tingkat Nasional, yang tertulis atas nama, “Hasan Al-Ahsan”.

Seminggu sebelum tampil, aku pun memilih pulang untuk sekadar meminta izin kepada ayah. Meminta ridho dan agar ayah bahagia melihat sebuah perjuanganku ini. Tetapi ketika aku sampai di rumah, aku melihat ada banyak orang dengan hiasan bendera kuning di setiap pojok rumahku.

“Ada apa ini pak?” tanyaku heran.

“Alhamdulillah nak, kamu sudah datang. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, ayah kamu meninggal dunia kemarin malam ketika mendengar dakwahmu di radio,” jawab salah seorang tetangga. Hatiku terasa sakit, air mata berkelebat dipipiku. Tanpa pikir panjang, aku langsung menghampiri jasad ayahku yang masih di ruang tamu. Kulihat jasad ayahku yang sangat putih dan dihiasi dengan senyuman di wajahnya. Ibuku langsung merangkul dan menyuruhku untuk tenang dan bersabar.

Setelah prosesi pemakaman, aku dan rombongan menuju rumah untuk khataman dan membaca yasin demi ayahku tercinta. Malam hari, ibu memanggilku ke bilik kamar ayah.

“San, ini ada surat terakhir dari ayah. Bacalah nak, kelak kau akan mengetahui cita-cita ayah yang diharapkan kepadamu sebagai anak satu-satunya.” suruh ibu. Kubuka surat tersebut dan kubaca dengan perasaan sedih yang masih mendalam.

Assalamu’alaikum Hasan,

Bagaimana kabar kamu di pondok nak? Ayah disini baik-baik saja. Ayah sangat senang melihat kamu selalu berdakwah di depan ayah. Ayah bangga mempunyai putra yang bisa mengerti keinginan ayah dan bisa meneruskannya. Mungkin ini adalah surat terakhir buat kamu nak, yang tegar ya disana. Jangan cengeng nak, kamu sudah dewasa dan kamu harus jaga ibumu. Dia adalah surga yang sangat diharapkan semua orang nak, ingatlah kata-kata ayah: “Surga dunia kamu itu, hanya di ibunda nak.” Dan yang paling penting buat kamu nak, teruskan gelora berdakwahmu nak, janganlah patah semangat kalau ayah tidak menemanimu. Ayah akan selalu menemanimu nak, di hati kecilmu itu ada ayah.

Ini mungkin yang bisa menjadi surat terakhir ayah buat kamu. Selamat tinggal nak, dan jadilah anak yang ahsanul walad ya !

Wassalamu’alaikum,

Dari kebanggaan Hasan

Ahsan Ali

Setelah kubaca surat terakhir dari ayah, aku langsung sadar, bahwa aku masih memiliki tugas yang masih belum ku selesaikan. Yaitu, membuat ibu bangga saat nanti tampil di Festival Dakwah Nasional.

Seminggu sebelum festival tiba, aku isi waktuku dengan latihan di depan musholla. Aku menjadi lebih bersiap diri untuk menjadi pemenang dan bisa membanggakan ibu dan cahayaku. Jasad ayah memang sudah tiada, tapi ia dekat telah menjelma cahaya, di sini. Di dalam hati terdalam kami.

Tiba saatnya aku menunjukkan aksi dakwahku untuk ibu dan cahayaku. Ketika namaku dipanggil, aku langsung menunjukkan penampilan terbaik yang memang aku persiapkan untuk semua hadirin yang melihat aksiku. Saat melihatku, ibu langsung meneteskan air matanya dengan penuh bangga, karena aku telah menjadi kebanggaan dirinya dan juga ayah.

Ketika pengumuman tiba dan namaku disebut sebagai juara pertama, ibuku langsung naik ke panggung dan memelukku dengan sangat bangga, anaknya menjadi juara. Juara ini, aku persembahkan untuk ayahku yang telah mendidikku dan mengubahku menjadi cahaya yang sangat bersinar.

Ayah, terima kasih kau sudah menjadi cahaya bagi hidup anakmu ini. Semoga kau tenang disana dan bangga melihatku karena sudah membanggakan ibu dan mengubah hidup kelamku.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng dan Jurnalis tebuireng.online