Oleh: M. Rizki Syahrul Ramadhan*

Suatu ketika, Rasulullah melihat sebuah bangkai kambing yang dibuang, kemudian beliau bertanya kepada para sahabat: “Bagaimana keadaan bangkai ini menurut kalian?”. Para sahabat menjawab bahwa bangkai tersebut tentu hina dan oleh karena itu dibuang oleh pemiliknya. “Demi Allah, perkara duniawi (ad-dunya) lebih hina daripada bangkai ini di sisi Allah”.

Hadis tersebut dijelaskan oleh KH. Muthohharun Afif ketika mengaji Minhajul Abidin di asrama putra Ma’had Aly Hasyim Asy’ari. Ketika itu, pengajian sampai pada bahasan asketik (zuhud) dan kerendahan dunia. Teksnya berbunyi “taraktu al-dunya li qillati ghana’iha wa katsrati ‘ana’ihaa” (saya meninggalkan perkara duniawi karena sedikit manfaatnya dan banyak kepayahannya). Ini menjadi landasan seseorang untuk memilih kesederhanaan (zuhud), karena menganggap perkara dunia hanya sedikit memberi manfaat dan menghabiskan banyak usaha keras.

Sudah barang tentu ketika membahas asketisme, seseorang harus mengetahui mengapa asketik itu perlu dan penting bagi manusia. Dengan kata lain, harus ada konsep yang lebih mendasar sebelum membahasnya. Konsep yang disebut terakhir inilah yang sedang dibahas dalam pengajian KH. Muthohharun Afif, yang menurut Abu Hamid berupa pemahaman bahwa hakikat dunia sebenarnya rendah nan hina.

Jika konsep asketik ini kita benturkan dengan legal-formalistik (fiqh) di mana setiap hal mengandung hukum taklifi, akan kita temui terminologi halal dan haram. Dalam artian, perkara dunia yang dipandang hina di atas kan ada yang halal, lantas mengapa harus dianggap rendah nan hina? Atau bisa juga pertanyaannya dibalik: Jika memang perkara dunia rendah nan hina, mengapa masih dihukumi halal?

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Hujjatul Islam al-Ghazali nampaknya telah memikirkan hal itu sehingga beliau menuliskan dalam kitabnya bahwa sikap zuhud memang berlaku secara umum, baik perkara duniawi yang halal maupun haram. Hanya saja, terdapat perbedaan dalam tekanannya. Zuhud terhadap perkara duniawi yang haram hukumnya wajib, sedangkan terhadap perkara duniawi yang halal hukumnya sunah. Pandangan tersebut sekaligus membuktikan ciri khas Imam al-Ghazali sebagai juru damai antara fikih dan tasawuf. Sebuah solusi cerdas yang layak mendapat apresiasi.

Lebih jauh lagi, Imam al-Ghazali menjelaskan: Jika bagi manusia awam terdapat kehalalan memakan bangkai karena terpaksa (dharurat), maka seperti itu juga bagi seorang wali abdal. Bahwa perkara duniawi yang halal sama seperti bangkai yang hanya boleh dimakan secukupnya. Oleh karenanya, walaupun perkara duniawi yang rendah nan hina hukumnya halal, menjadi sunah bersikap sederhana (zuhud) terhadapnya. Sebab kehalalan tersebut dibatasi dengan kadar “secukupnya”, seperti memakan bangkai ketika terpaksa.

Pengasuh Pondok Pesantren Sabilul Muttaqin itu menjelaskan lebih gamblang dari solusi cerdas al-Ghazali di atas dengan memberikan sebuah cerita. Suatu ketika datanglah seorang sufi ke sebuah acara temannya. Selama berada di tempat, sang sufi beberapa kali dipersilakan memakan bermacam-macam suguhan oleh tuan rumah dan sang sufi hanya mengiyakan tanpa memakan suguhan tersebut.

Setelah cukup berbincang dengan tamu lain tanpa mencicipi suguhan, sang sufi pamit pulang. Sayangnya tuan rumah tidak berada di tempat ketika sang sufi pamit. Tuan rumah yang belakangan mengetahui kepulangan sang sufi memanggil anaknya dan menyuruhnya memberikan bingkisan makanan berisi suguhan yang ditawarkan tadi.

Tanpa sempat bertanya, anak tersebut mengejar sang sufi sebelum pergi terlalu jauh. Sang anak berhasil menyusul. Diberikanlah bingkisan tersebut kepada sang sufi. “Terima kasih”, ucap sang sufi tanpa menolak. Sang anak kemudian bingung dan bertanya kepada ayahnya ketika sampai di rumah: “Mengapa teman ayah tidak menolak bingkisan yang diberikan padahal isinya sama dengan suguhan yang tidak mau dicicipinya tadi?”. Dengan bijaksana sang ayah menjawab, “Ketika berada di sini dia merasa ingin memakan suguhan, oleh karenanya dia menolak. Namun barusan dia sudah tidak mempunyai keinginan terhadap makanan tersebut, oleh sebab itu dia menerimanya.”

Benarlah bahwa batasan formalistik halal-haram akan menjadi lebih linuhung jika sang manusia dapat mengombinasikannya dengan batasan baru yang lebih luhur: kecukupan, keinginan, dan kelayakan. Semoga sikap sederhana senantiasa melekat di setiap aktifitas kita. Amin.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari

**Diolah dari pengajian Minhajul Abidin oleh KH. Drs. Muthohharun Afif, Lc. M.Hi.